Cerpen: Ahmad Zaini
Tubuh kurus ayah terkulai di ranjang medis. Beberapa selang infus berjuntai untuk menyuplai obat dan nutrisi ke dalam tubuh. Pada jam-jam tertentu, datang perawat. Dia bertanya tentang perkembangan kesehatan ayah. Perawat itu pun memberikan suntikan obat. Mulut kering ayah menyeringai menahan sakit. Air mata cekung menerawang kosong ke langit-langit ruang peerawatan. Ayah cemas. Hal itu terlihat tatapan kosong dari kornea mata yang tak putih sempurna.
"Mbah, lekas sembuh, ya," kata perawat sambil mengemasi peralatan medis ke dalam sebuah kotak yang diletakkan di samping tubuh ayah.
"Terima kasih,” sahut ayah dengan suara lirih.
Aku tertegun berdiri menatap tubuh kurus ayah yang terkulai di ranjang. Bahu yang dulu kekar, kini tinggal tulang yang terbalut kulit. Tangan kurus itu tak mampu dibuat menyangga tubuhnya sekadar ingin berbaring. Aku sigap menyangga tubuh ayah lalu membaringkannya pelan-pelan.
Ini merupakan hari kelima ayah dirawat di rumah sakit. Ayah terdeteksi mengidap sakit paru-paru. Sebelum aku bawa ke rumah sakit, ayah sudah beberapa minggu merasakan sesak napas dan batuk yang tiada henti. Menurut cerita adik-adikku yang tinggal serumah dengan ayah, selama itu pula ayah tidak pernah tidur. Raut wajah ayah memucat. Matanya memerah. Tulang-tulang pipinya semakin menonjol.
Sebagai anak sulung, aku tak tega melihat kondisi ayah sedemikian itu. Aku membujuk agar ayah mau berobat ke rumah sakit. Namun, ayah selalu menolak.
"Kenapa?" tanyaku. Ayah diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Ia Kembali berbaring di dipan berkasur kusam.
Berbagai cara telah kutempuh untuk membujuknya. Tapi ayah bersikukuh menolaknya. Alasan biaya? Kurasa tidak. Aku sejak awal berniat akan membiayai pengobatan ayah. Aku bertanya lagi kepada ayah. Dia tetap menggeleng-gelengkan kepala. Aku bertanya, bertanya, dan bertanya lagi. Lambat laun tembok kokoh yang merahasikan alasan ayah tidak bersedia berobat ke rumah sakit akhirnya runtuh juga.
"Aku tidak mau merepotkan kalian," jawabnya.
Seperti itulah ayah sejak dulu. Dia tidak mau merepotkan anak-anaknya. Padahal, sedikit pun aku merasa tidak terbebani. Dia juga tidak mau merepotkan tetangga yang apabila mendengar tetangga lain sakit langsung berbondong-bondong menjenguknya.
Tradisi anjangsana, berlisaturahim di desa seperti menjenguk orang sakit sudah mandarah daging. Ayah termasuk orang yang menjaga dan turut melestarikan tradisi itu. Semua kelurga baik yang tinggal satu desa maupun lain desa pernah dikunjunginya. Aku masih ingat betul ketika diajak ayah bersilaturahim ke rumah pakde.
Rumah pakde berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Jarak tidak menjadi penghalang ayah bersilaturahmi. Ayah berjalan kaki sambil menggendongku di punggung.
"Ayah, capek," kataku kala itu.
"Sini naik ke punggung," pintanya.
Aku segera melompat ke punggung ayah dan merasakan betapa kuat niat dan tenaga ayah untuk bersilaturahim. Dia mampu berjalan sambil menggendongku di belakang menyusuri jalan becek dan berlumpur.
"Aku tidak pernah merasa ayah merepotkanku. Aku siap dan ikhlas menjaga ayah di rumah sakit sampai sembuh,” kataku.
Ayah bergeming. Dia sedikit pun tak menunjukkan kesediaan berobat ke rumah sakit. Dia memilih dirawat di rumah dengan obat-obatan yang dibeli di warung kelontong. Padahal, obat tanpa resep dokter itu juga berbahaya. Bisa salah obat dan menyebabkan sakit semakin parah.
"Aku tidak enak sama tetangga,” jawabnya dengan jujur.
Nah, rupanya ini yang menjadi penyebab kenapa ayah tidak mau berobat ke rumah sakit. Dia malu menjadi beban tetangga yang menjenguknya ke rumah sakit.
"Ayah sering menjenguk famili atau tetangga yang sakit, kan? Ayah selalu datang dengan membawa oleh-oleh. Bahkan, kalau tidak ada barang bawaan saat menjenguk, ayah ke pasar dulu membeli pisang atau pepaya. Apakah waktu itu ayah terbebani?”
"Tidak. Aku tidak terbebani sama sekali karena itu kewajiban kita sebagai manusia, sebagai tetangga.”
"Nah, para tetangga juga demikian. Mereka ingin berbuat baik kepada ayah. Kalau ayah menolak karena merasa membebani mereka, berarti ayah menghalang-halangi orang berbuat baik. Yang perlu ayah pikirkan saat ini adalah kesembuhan dan kesehatan ayah. Tentang tetangga kita pikir belakangan. Bagaimana? Kita berangkat untuk berobat ke rumah sakit."
"Kalau begitu, terserah kalian. Aku pasrah,” kata ayah yang membuat aku dan adik-adik tersenyum lega.
***
Penjaga rumah sakit menghampiri kami yang baru turun dari mobil sambil mendorong kursi roda. Tubuh ayah yang kurus kupapah bersama adik lalu kududukkan pelan-pelan di kursi roda. Kami berjalan menyusuri Lorong rumah sakit menuju tempat pendaftaran pasien. Setelah semua data pasien kuberikan kepada petugas, kami diarahkan ke ruang pemeriksaan.
Tubuh ayah yang ringkih kubopong seorang diri lalu kurebahkan di ranjang pemeriksaan. Seorang dokter memeriksa kondisi ayah dengan teliti. Tubuh kurus telentang di ranjang itu terguncang-guncang karena batuk. Dokter mengangkat stetoskopnya dari dada ayah agar bisa batuk tanpa penghalang. Dokter mengulangi pengecekan kesehatan ayah dengan lebih teliti.
"Perwakilan keluarga silakan ikut ke ruang saya,” kata dokter.
“Baik, Dok,” sahutku sambil berjalan mengikuti dokter.
Raut dokter tampak cemas. Dia seperti terbebani mengeluarkan kata-kata kepadaku. Dalam benakku, ini pasti ada hubungannya dengan penyakit yang diderita ayah.
"Bapak ini punya hubungan apa dengan pasien?”
“Anak kandung, Dok,” jawabku tegas.
“Dari hasil pemeriksaan, ayah Bapak mengidap TBC yang menyerang di paru-paru. Pasien harus menjalani rawat inap beberapa hari ke depan,” kata dokter.
“Baik, Dok. Kami sekeluarga siap mengikuti arahan dokter demi kesembuhan ayah.”
Aku segera keluar dari ruangan untuk menyampaikan pesan dokter kepada adik-adikku yang menunggu ayah di ruang observasi. Adik-adikku bisa menerima arahan dokter yang baru kusampaikan. Mereka menyadari bahwa arahan dokter itu pasti yang terbaik buat kesembuahan ayah.
“Ruang rawat inap sudah siap. Mari kami bantu memindah pasien ruangan,” kata dua perawat yang muncul dari balik kelambu ruang observasi.
Aku melihat tubuh ayah yang tergolek lemas di atas brangkar yang didorong dua perawat. Wajahnya pucat dan sayu. Sedangkan di tangan kirinya bergelantung selang infus untuk menyuplai cairan melalui pembuluh darah.
Ayah terdiam. Dia lemas hingga enggan berkata-kata. Dia pasrah kepada anak-anaknya yang terpaksa membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang maksimal. Guncangan brangkar melewati Lorong-lorong ruang rumah sakit tak dihiraukannya. Tak ada suara mengaduh atau mengeluh saat roda brangkar melindas kerikil atau lantai yang tidak rata. Air mata ayah tiba-tiba menetes. Aku mendekat dan membisikinya.
“Ayah, jangan menangis. Banyak berdoa memohon kesembuhan pada Allah. Anak-anakmu Ikhlas menjagamu selama dalam perawatan di rumah sakit ini,” bisikku.
Ayahku orang kuat. Kuat dalam pendirian, perjuangan dan pengabdian. Kuat menata pendidikan anak-anaknya. Aku teringat saat akan berhenti sekolah setelah lulus SMP. Aku menyadari ketika itu ekonomi keluarga benar-benar sulit. Aku pamit kepadanya meminta izin bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Namun, orang tuaku kukuh pendirian. Dia tetap memaksaku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Ayah siap peras keringat banting tulang demi membiayai sekolahku.
Para tetangga dan anggota masyarakat juga mengakui bahwa ayah merupakan tokoh penting. Kiprah beliau tidak diragukan lagi. Meskipun hanya lulusan sekolah rakyat, beliau punya jiwa pengabdian tinggi di masyarakat.
"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna buat manusia lainnya,” tutur ayah.
Kini ayah masih tergolek lemas. Guratan di keningnya menjadi bukti bahwa beliau sering berpikir dan berbuat untuk kemaslahan umum. Otot-otot yang mulai timbul di lengannya menandakan ayah juga pekerja keras untuk menghidupi keluarga. Selain itu, ayah juga terkenal sebagai dermawan. Punya jiwa sosial yang tinggi.
“Ayah, semoga lekas sembuh. Masyarakat masih sangat mengharapkan tenaga dan pikiranmu. Ayah, anak-anakmu merindukan senyum dan nasihat-nasihatmu. Cepat sehat, ayah,” bisikku di telinga ayah.
Ayah tersenyum. Perlahan dia membuka kedua matanya. Bola matanya berputar mengamati sekeliling. Dia menatap wajahku dan wajah adik-adikku. Ayah mengangkat kepala kemudian duduk. Kedua tangannya tiba-tiba merangkul kami sembari membisikkan ucapan terima kasih. Ayah juga berpesan agar kami selalu rukun dengan saudara dan siapa pun. Satu lagi yang diapesankan agar kami selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Lamongan, 19 Maret 2025
Ahmad Zaini, Ketua Lesbumi PCNU Babat dan guru SMKN 1 Lamongan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
2
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan Muharram
3
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Berani Keluar Dari Zona Nyaman
Terkini
Lihat Semua