Cerpen

Sayonara Jakarta

NU Online  ·  Ahad, 6 Juli 2025 | 11:00 WIB

Sayonara Jakarta

Ilustrasi: Bangunan dan kemegahan Jakarta.

Cerpen: Pensil Kajoe
Jakarta, 2025

 

Hari itu terasa berbeda bagi Rani. Jakarta, yang selama ini menjadi simbol kehidupan dan dinamika, kini telah kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara. Pemindahan ke Nusantara telah menjadi topik hangat di seluruh penjuru negeri. Meskipun banyak yang berpendapat bahwa itu adalah langkah yang tepat, Rani merasakan kesedihan yang mendalam. Baginya, Jakarta adalah lebih dari sekadar kota; ia adalah tempat kenangan indah terukir.


Rani berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap ke luar. Gedung-gedung tinggi yang menjulang, jalanan yang ramai, dan suara klakson mobil yang tak ada habisnya seolah mengingatkannya pada masa-masa ketika Jakarta adalah pusat segala aktivitas. Dia teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, saat dia dan teman-temannya berkeliling Monas, melahap kerak telor di pinggir jalan, dan menghabiskan malam di kafe kecil di Kemang.


Kini, semua itu terasa seperti kenangan yang berharga, tetapi juga menyakitkan. Rani mengingat bagaimana setiap sudut Jakarta menyimpan cerita, dari hiruk-pikuk Pasar Tanah Abang hingga ketenangan Taman Suropati. Namun, semua itu kini berada pada ambang kepunahan, terancam oleh perubahan yang cepat.


“Ibu, apakah Jakarta masih akan sama?” tanya Rani saat makan malam, suaranya penuh harap.


Ibu Rani menghela napas. "Setiap kota pasti akan berubah, Nak. Tapi kenangan kita di Jakarta tidak akan pernah hilang. Itu akan selalu ada di hati kita."


Kata-kata ibunya menggugah Rani. Dia ingin mengekspresikan semua perasaannya tentang Jakarta yang telah ditinggalkan. Rani mulai menulis di buku catatannya, mencurahkan kerinduan dan kenangan yang terpatri dalam pikirannya.

 

"Jakarta, kau adalah rumahku. Dari suara bising kendaraan hingga aroma makanan khas yang menggoda. Setiap sudutmu menyimpan kisah, setiap tawa dan air mata yang pernah terukir di jalananmu,” tulisnya.


Keesokan harinya, Rani memutuskan untuk menjelajahi tempat-tempat yang memiliki makna dalam hidupnya. Dia pergi ke Monas, tempat dulu dia sering berkumpul dengan teman-temannya, dan menyaksikan perubahan yang terjadi. Di sekelilingnya, banyak orang yang masih berfoto dan menikmati suasana, tetapi Rani merasa ada yang hilang. Tidak ada lagi semangat yang sama seperti dulu.

 

Dia melanjutkan perjalanannya ke Pasar Senen, tempat dia selalu membeli jajanan favoritnya. Suara pedagang yang berteriak menawarkan barang dagangan seolah memanggilnya kembali ke masa lalu. Rani menyusuri lorong-lorong pasar, mengingat saat-saat dia berlarian di antara kerumunan, merasakan kebebasan dan keceriaan.

 

Saat senja tiba, Rani duduk di tepi Sungai Ciliwung. Dia menatap air yang mengalir, merenungkan semua kenangan yang telah tertinggal. Jakarta yang dulu dipenuhi dengan kehidupan kini terasa sepi, meskipun ada banyak orang di sekitarnya. Dia memahami bahwa meskipun kota ini akan terus berjalan maju, kenangan akan tetap hidup dalam ingatannya.


Kembali di rumah, Rani membuka laptopnya. Dia ingin menulis artikel tentang Jakarta, bukan hanya sebagai kota, tetapi sebagai bagian dari sejarah yang tak terlupakan. Dia mulai menyusun kata-kata, menggambarkan bagaimana Jakarta telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya dan banyak orang lainnya, bagaimana kota ini menghadapi perubahan yang tak terhindarkan.


Dia menulis tentang bagaimana setiap jalan, setiap gedung, dan setiap taman menyimpan cerita-cerita yang tak akan pernah pudar. “Jakarta, meskipun kini bukan lagi ibu kota, kau tetap menjadi ibu kota hatiku,” tulisnya.


Hari-hari berlalu, dan Jakarta terus bertransformasi. Rani melihat banyak gedung baru dibangun, sementara tempat-tempat yang dulu menjadi favoritnya perlahan-lahan menghilang. Namun, dia juga menyaksikan orang-orang yang tetap mencintai kota ini, yang berjuang untuk menjaga kenangan dan warisan yang ada. Rani mulai bergabung dalam komunitas lokal yang berusaha melestarikan budaya dan sejarah Jakarta, dari seni jalanan hingga festival makanan.


Dalam pertemuan komunitas itu, Rani bertemu dengan Andi, seorang seniman yang juga mencintai Jakarta. Mereka berbagi cerita tentang tempat-tempat yang mereka rindukan dan apa yang bisa dilakukan untuk menjaga semangat kota ini tetap hidup. Andi mengajak Rani untuk ikut serta dalam proyek mural di tembok gedung tua, menggambarkan keindahan Jakarta yang masih ada.

 

Ketika mural itu selesai, Rani merasa bangga. Mereka menciptakan sesuatu yang bukan hanya indah, tetapi juga membawa pesan bahwa Jakarta akan selalu hidup dalam kenangan dan hati setiap orang yang mencintainya. Rani berjanji untuk terus berjuang, untuk membagikan kisah-kisah Jakarta kepada generasi mendatang.


Satu malam, saat Rani dan Andi duduk di dekat mural yang baru mereka cat, mereka berbicara tentang masa depan. “Kau pernah membayangkan bagaimana Jakarta akan terlihat sepuluh tahun dari sekarang?” tanya Andi. Rani menggelengkan kepala. “Aku hanya berharap Jakarta tidak kehilangan karakter dan semangatnya, meski banyak hal telah berubah.”

 

Andi mengangguk, “Kita harus berjuang untuk itu. Setiap orang berhak merasakan keindahan dan sejarah kota ini.” Rani merasakan semangat yang menggebu dalam diri mereka. Mereka berdua bertekad untuk menyuarakan kekhawatiran dan harapan mereka, agar Jakarta yang baru tetap menghargai Jakarta yang lama.

 

Beberapa minggu kemudian, Rani mendapat undangan untuk berbicara di seminar tentang pelestarian budaya kota. Dia merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Di depan para peserta, Rani menceritakan kisahnya, bagaimana Jakarta telah membentuk siapa dirinya, dan pentingnya menjaga kenangan yang ada. “Kita tidak bisa membiarkan Jakarta menjadi sebuah pelajaran sejarah. Kita harus menghidupkan kembali jiwa kota ini,” ujarnya dengan penuh keyakinan.


Saat seminar berakhir, Rani merasakan gelombang dukungan dari para peserta. Dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Di tengah perubahan yang cepat, ada banyak orang yang masih mencintai Jakarta dan berkomitmen untuk menjaga semangatnya tetap hidup. Rani merasa terinspirasi dan bertekad untuk terus berjuang, tidak hanya untuk Jakarta, tetapi juga untuk semua kota yang mengalami perubahan serupa.

 

“Selamat tinggal, Jakarta,” bisiknya sambil menatap bintang-bintang yang bersinar di langit malam. “Kau akan selalu menjadi bagian dari diriku, meskipun statusmu kini telah berubah.”

 

Rani tahu, meskipun Jakarta telah kehilangan gelarnya sebagai ibu kota, jiwa dan semangat kota ini akan terus hidup dalam setiap cerita yang diceritakan, dalam setiap kenangan yang terukir. Dia siap menghadapi masa depan dengan semua kenangan indah itu sebagai bekal, menjadikan Jakarta sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang tak terlupakan. Dengan harapan dan semangat baru, Rani melangkah ke depan, terus mengabadikan kisah-kisah Jakarta dalam setiap langkah yang diambilnya.

 

Tumiyang, 25 November 2024

 

Penulis adalah seorang cerpenis, esais, penyair sastratama dan kolomnis yang tinggal di Desa Tumiyang Kec. Pekuncen Kab. Banyumas).