Cerpen

Banteng Negara

NU Online  Ā·  Ahad, 1 Juni 2025 | 18:00 WIB

Banteng Negara

Ilustrasi: Di tengah aroma mesiu dan bayangan malam Jumat Kliwon, seorang perwira menghadapi masa lalu, cinta tak selesai, dan medan perang tak kenal ampun.

Saya tiba di Markas Batalyon 431/Banteng Raiders di Ujungrusi, Tegal tatkala matahari baru saja kembali ke peraduannya di malam Jumat Kliwon awal 1953. Prajurit-prajurit bertopi baja dari Semarang turun dari truk dengan ransel penuh beban sambil menenteng senjata tak tentu, ada lee enfield, sten, bren, thompson.

 

Jelas di wajah mereka bukan hanya ada kelelahan saja, tetapi juga raut ketakutan yang berusaha untuk disembunyikan. Tak sampai hitungan hari, prajurit-prajurit ini nantinya akan diterjunkan memburu para gerombolan yang berlindung pada lebatnya hutan di kaki Gunung Slamet.

 

Saya bukan bagian dari mereka, cuman kebetulan saja ikut numpang truk mereka. Sebenarnya, rencananya setelah melapor ke Markas Divisi Diponegoro perihal mutasi, saya akan ke Tegal keesokan harinya. Namun setelah melihat mereka juga akan ke Tegal, saya putuskan untuk ikut saja.

 

Buru-buru saya menuju pos jaga kompleks rumah dinas untuk melapor bahwa saya ada kepala perhubungan yang baru dan minta dihadapkan dengan Pak Yani. ā€œWah Pak, kalau sekarang Pak Yani lagi nggak di sini sekarang, sedang ke Mabes,ā€ ujar prajurit jaga yang memperkenalkan diri bernama Kopral Kasan. ā€œBapak sudah mengurus perihal rumah dinas.ā€ Ā Saya pun menggelengkan kepala.


ā€œSeharusnya jauh-jauh hari Pak. Kalau begini kasihan istri dan anak bapak,ā€ celetuk prajurit jaga yang sebelumnya memperkenalkan diri bernama Prajurit Dua Udin. ā€œTunggu dulu di sini Pak, saya coba tanyakan dulu,ā€ imbuh Udin dengan logat ngapaknya yang khas. Saya pun mencegah Udin untuk pergi, sebab saya tidak membawa keluarga. Perihal tempat tidur, saya bisa tidur di mana saja.


ā€œWah masa kapten harus tidur bersama prajurit. Cepat sana Din kamu temui kepala staf di rumahnya,ā€ kata Kasan dengan logat Mandailingnya yang unik. ā€œCepat bodat,ā€ imbuhnya. Saya pun meyakinkan mereka supaya tidak usah repot-repot. Lalu saya menawarkan rokok sigaret kepada mereka, dengan gerakan cepat Udin langsung mengambil beberapa batang. ā€œGiliran rokok saja cepet, dasar bodat kemaruk,ā€ ujar Kasan. Saya pun mengarahkan bungkus rokok itu kepada Kasan, namun ia menolak dan mengatakan kalau dia tidak merokok.


"Kenapa belum menikah, Pak?" tanya Udin sambil meraba-raba ke mana-mana, mencari di mana korek apinya. Saya pun merogoh saku celana dan melemparkan korek api itu kepada Udin. Tanpa memberi jeda, Udin si anak Banyumas langsung menyambarnya. ā€œBelum ada yang cocok.ā€


ā€œMaafkan pertanyaan Udin, Pak,ā€ ucap Kasan, ā€œMohon jangan diambil hati. Entah kenapa mulut Udin ini nggak bisa dijaga.ā€ ā€œPertanyaan saya tidak salah,ā€ timpal Udin, ā€œCoba kamu jelaskan secara gamblang di mana letak kesalahannya, toh Pak Yusuf tidak marah.ā€ ā€œEntah kenapa orang-orang sini tuh selalu menanyakan hal-hal seperti itu, kapan nikah, kapan punya anak. Itu kan ranah pribadi.ā€ ā€œItu bukan ranah pribadi,ā€ jawab Udin. ā€œIntinya Pak Yusuf tidak marah kok.ā€


Kasan dan Udin terus saja berdebat, mereka baru diam tatkala dari jarak beberapa meter seseorang berbadan tinggi dan tegap dengan kumis lebat menghampiri pos jaga. ā€œCuman bertiga saja yang jaga?,ā€ tanyanya. Belum sempat Udin dan Kasan menjawab, pria tersebut langsung memeluk saya ā€œYusuf, wah sombong betul kamu, masa nggak ingat dengan sayaā€. Udin dan Kasan pun hanya melopong melongo.

 

Saya berusaha mengingat-ingat siapa gerangan, memang tidak terasa asing mukanya seperti pernah bertemu. ā€œFront Jakarta Timur,ā€ ucapnya. Yah saya ingat, kami pernah bertempur bersama-sama di Front Jakarta Timur, ā€œWahid, pangling sekali kamu.ā€ ā€œJustru kamu yang pangling,ā€ ā€œRupanya kamu kepala perhubungan yang baru. Saya tahu kamu pasti belum mengurus perpindahan rumah dinasmu kan. Untuk malam ini kau bisa tinggal di rumah dinasku.ā€


Kami pun berjalan bersama beriringan menuju rumah dinas Wahid. ā€œRumah dinas saya di belakang, maklum prajurit berpangkat sersan mayor.ā€ ā€œPasti Farida senang akan kedatanganmu ke sini.ā€ ā€œWah ternyata jadi juga kamu dengannya. Masa nikah nggak undang-undang,ā€ ujar saya. ā€œTiga tahun yang lalu kami menikah. Farida yang mengantarkan undangan ke rumahmu. Kata ibumu, kamu sedang berangkat operasi menumpas RMS.ā€

 

Ibu memang tidak pernah cerita terkait undangan tersebut, mungkin saja lupa. Tetapi syukur lah Farida yang hidup seorang diri akhirnya tidak merasa kesepian lagi. Bapaknya dibawa oleh Tentara Jepang untuk dijadikan romusha dan hilang entah ke mana, katanya di bawa ke Burma. Sejak saat itu ibunya sakit-sakitan, tak berselang lama meninggal. Kedua adiknya gugur menjadi tumbal negeri yang baru seumur jagung, adik pertamanya gugur tertembak peluru Tentara Gurkha di Pasar Senen. Sementara adik keduanya gugur terkena ranjau di Klender.


Saya dan Wahid bertemu dengannya pada awal 1946 di Cikampek. Farida saat itu bergabung Ā dengan palang merah. Wahid yang saat itu tertembak di bagian kaki, kebetulan yang merawat adalah Farida. Lalu mereka pun menjadi akrab dan Wahid memperkenalkan saya kepada Farida. Saya juga sering menitipkan surat kepadanya untuk disampaikan kepada ibu di Kebon Jeruk. Saat itu memang anggota palang merah sedikit lebih mudah masuk ke Jakarta. Farida pun jadi akrab juga dengan ibu, ia sering menginap di rumah. Bahkan ibu sudah menganggap Farida seperti anaknya sendiri.

 

Saya tahu juga hubungan mereka sebenarnya tidak mendapatkan restu dari keluarga Wahid. Pada akhir 1946 Wahid menceritakan hal ini kepada saya. Kata paman Wahid yang paling bungsu, di mana pamannya ini suka ngilmu. Katanya Farida ini adalah perempuan pembawa sial, dengan dalih ayah, ibu, dan kedua adiknya meninggal. Tak sampai di situ alasan yang digunakan oleh pamannya Wahid. Katanya juga ketika malam Jumat Kliwon dari lubang depan akan keluar ular emas. Kemudian ular tersebut akan masuk ke lubang kemaluan laki-laki di rumah tempat perempuan itu berada. Tetapi jika berhasil ditangkap, ular emas tersebut akan berubah menjadi keris.

 

ā€œTahayul,ā€ jawab saya. ā€œKamu jangan percaya hal-hal begituan. Pantas saja bangsa ini lama sekali dijajah oleh Belanda. Kita ini sudah merdeka, jangan percaya tahayul semacam itu. Kamu masih ingat kan dengan apa yang dialami oleh Musa? Katanya dia punya ajian lembu sekilan, toh dia tewas juga terkena pecahan mortir di dekat Stasiun Jatinegara. Contoh lainnya lagi, kamu masih ingat Umar kan? Dia sering bercerita kalau dirinya kebal peluru. Tetapi toh di tewas tertembak juga di Kranji.ā€


ā€œTetapi.ā€ Belum sempat ia melanjutkan kata tapi, saya langsung menyelanya ā€œKalau kamu percaya hal semacam itu, saya ada satu solusi. Ketika kamu sudah menikah nanti, di Malam Jum'at Kliwon kamu jangan satu rumah sama Farida, apalagi sampai berhubungan.ā€ Ia berceletuk ā€œWah ide bagus.ā€ Sialan, padahal saya asal bunyi saja.


Sejak obrolan itu saya tidak tahu lagi bagaimana kisa cinta mereka. Sebab awal tahun 1947 saya dipindahkan ke markas besar di Yogyakarta, ditempatkan di bagian perhubungan. Sebab kemampuan saya menguasai lima bahasa asing, Inggris, Arab, Jepang, Cina, Spanyol. Sejak saat itu saya tidak lagi ditempatkan di lapangan, begitupun ketika operasi RMS saya lebih banyak berada di KRI Hang Tuah bersama dengan Kolonel Alex Kawilarang.


Rumah dinas Wahid berada di belakang, dekat dengan tegalan warga, terpisah dari rumah dinas para perwira. Di situ berderet rumah dinas prajurit. Bisa dikatakan terpisah dari rumah dinas para perwira. Dari segi bangunan juga berbeda jauh. Rumah dinas prajurit ini hanya ada dua kamar kecil, dapur, satu kamar mandi kecil, ruang tengah yang tidak begitu besar, ruang depan yang sempit.Ā 


Farida sedang di dapur tatkala saya datang. Wahid langsung bergegas masuk, terdengar dia mengatakan kalau ada tamu istimewa. Bergegas keduanya ke depan menemuiku yang masih melepaskan sepatu pantofel. Bingung saya bersikap seperti apa kepada Farida yang notabenenya sudah memiliki suami. Tanpa diduga berhamburlah ia ke pelukan saya. Agak kikuk saya dibuatnya, sekilas saya lirik wajah Wahid. Syukurlah tidak ada yang berubah dari raut wajahnya.


Diajak lah saya makan dengan menu kupat blengong, gorengan mendoan, dan teh poci. Katanya ia belajar masakan Tegal dari ibu saya yang berasal dari Tegal. ā€œWah rasanya mirip betul dengan masakan ibu,ā€ ujar saya. ā€œBisa saja kamu memujinya, jelas masih enakan masakan ibu,ā€ timpal Farida. Selesai makan kami berkumpul di teras, Farida menghidangkan tahu aci dan kopi. Ia pun menanyakan bagaimana kabar ibu, bapak, dan kedua adik saya. Obrolan pun berlanjut terkait masa-masa revolusi, nostalgia di front Jakarta Timur. Dibandingkan dengan Wahid, Faridalah yang paling antusias menanyakan bagaimana pengalaman saya ketika di Jogja dan menumpas di RMS.


Menjelang 11 dini hari saya pamit kepada mereka. Wahid dan Farida mencegah saya untuk pergi. Namun saya bersikeras untuk pergi dan mengatakan saya akan menginap di pos jaga komplek rumah dinas saja. ā€œSaya tidak ingin mengganggu malam kemesraan kalian, cepat bikinkan saya keponakan,ā€ ujar saya sambil berlalu. Malam yang dingin itu saya habiskan di pos jaga bersama dengan Kopral Kasan dan Prajurit Dua Udin.


Keesokan harinya saya melapor kepada kepala staf Mayor Mardi, karena Pak Yani masih ada urusan di Jakarta. Setelah itu segera saya mengurus perihal tempat tinggal selama dinas di Tegal. Sebenarnya saya ditempatkan di rumah dinas pada komplek perwira. Namun saya menolaknya dengan alasan terlalu besar, sementara saya masih hidup sendiri. Selepas Ashar barang-barang saya dari Jakarta datang. Alhasil saya meminta bantuan kepada Kopral Kasan dan Prajurit Dua Udin.


Selepas Isya diketuklah pintu rumah dinas saya. Setelah dibuka ternyata Farida, ia menangis sesenggukan, dari bibirnya keluar kata tolong. Saya pun bingung Farida minta tolong apa. Lalu saya ke belakang mengambil minum di dapur, tak lupa saya meminta Farida untuk tetap di teras jangan masuk ke dalam, sebab takut terjadi fitnah. Setelah meminum satu gelas air putih sampai habis, barulah Farida tenang.


Ia pun menceritakan bahwa malam ini Wahid ditugaskan untuk menjaga perbatasan Balapulang dan Bumijawa di sebelah selatan, tepatnya di Desa Ciawitali. Gerombolan akhir-akhir ini sering turun gunung, bahkan merangsak sampai Hutan Jati Balapulang. ā€œKamu tenang saja, Wahid sudah terbiasa dengan pertempuran.ā€ Namun, Farida malah kembali menangis ā€œTetapi ini lain.ā€ ā€œLain kenapa?,ā€ tanya saya. ā€œWahid pasti pernah cerita kepadamu apa yang dikatakan oleh paman bungsunya.ā€ ā€œTahayul,ā€ jawab saya. Ia pun semakin menangis menjadi-jadi. Ā ā€œTenanglah, nanti saya dikira ngapa-ngapain kamu.ā€


ā€œKalau terjadi apa-apaan kepada Wahid, pasti saya yang disalahkan oleh keluarganya. Saya tidak ingin hidup sebatang kara lagi.ā€ Kemudian saya berjanji akan mencegah Wahid berangkat. Tetapi sebelum itu saya meminta Farida untuk pulang. Hanya dengan sarung dan kaos oblong saya berlari hendak ke markas, barangkali kompi Wahid belum berangkat. ā€œMau ke mana Pak?,ā€ tanya Udin dari pos jaga. ā€œKe markas.ā€ ā€œMarkas nggak ada siapa-siapa, cuman ada prajurit jaga,ā€ timpal Kasan.


Bergegas saya kembali ke rumah, mengganti pakaian dengan seragam dinas. Segera saya menghadap kepada kepala staf di rumahnya, meminta izin untuk ke rumah kakek saya di Desa Jejeg. Dengan alasan ia sedang sakit keras harus segera dibawa ke rumah sakit daerah di Slawi. Tanpa ditanya lebih lanjut, Mayor Mardi, bahkan mengizinkan saya untuk memakai jip batalyon, serta membawa pengawal. Setelah mengucapkan terima kasih bergegas saya melapor ke pos jaga menyerahkan memo dari Pak Mardi. Lalu saya meminta ke pos jaga agar Kopral Kasan dan Prajurit Dua Udin saja yang mengawal.


ā€œTenang saja Pak jika saya yang jadi supirnya, dulu semasa di Ambarawa pesawat mustang pun tak sanggup mengejar truk yang saya supiri,ā€ ujar Kasan. Jip pun melaju di kegelapan malam menuju kaki Gunung Slamet. Sementara itu Udin di belakang terus memeluk lee enfield nya. Lalu Thompson milik Kasan berada dalam genggaman saya dan Pistol M1911 terselip di pinggang saya. Ketika sampai di Desa Banjaranyar terlihat jelas dari jarak satu kilometer kobaran api menyala.


ā€œSepertinya sedang terjadi pertempuran antara pasukan kita dengan gerombolan di Desa Ciawitali,ā€ ucap Kasan. ā€œPak lebih baik kita putar balik saja,ā€ ujar Udin yang wajahnya berkeringat dingin. ā€œJangan, barangkali mereka butuh bantuan kita,ā€ jawab saya. ā€œSetuju Pak,ā€ timpal Kasan.Ā 


ā€œKalian pernah bertempur kan?,ā€ tanya saya. ā€œAsam garam pertempuran sudah pernah saya hadapi,ā€ jawab Kasan. Sementara itu Udin hanya menggelengkan kepala, dari mulutnya keluar rapalan kalimat langit.


Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).