Nasional

Peneliti BRIN Minta Pemerintah Pertimbangkan Putusan MK Larang Wamen Rangkap Jabatan

NU Online  ·  Jumat, 18 Juli 2025 | 16:45 WIB

Peneliti BRIN Minta Pemerintah Pertimbangkan Putusan MK Larang Wamen Rangkap Jabatan

Wasisto Raharjo Jati. (Foto: instagram @wasistojati)

Jakarta, NU Online

Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati meminta agar Pemerintah mempertimbangkan putusan MK nomor 21/PUU-XXIII/2025 tentang pelarangan Wakil Menteri (Wamen) merangkap jabatan sebagai komisaris ataupun direksi BUMN, perusahaan swasta, serta organisasi yang didanai berasal dari anggaran negara.


"Saya pikir sebaiknya pemerintah menganulir keputusan Wamen rangkap jabatan komisaris sesuai dengan putusan MK itu. Atas nama konstitusi dan integritas, pelaksanaan putusan MK itu wajib dilakukan oleh pemerintah setelah putusan dibacakan karena sifatnya yang mengikat," katanya saat dihubungi NU Online pada Jumat (18/72025).


Wasisto melihat, secara sosial rangkap jabatan yang dilakukan oleh seluruh pejabat publik yang melakukannya merupakan perilaku tidak layak, apalagi di tengah banyaknya jumlah masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan.


"Secara sosial pula, rangkap jabatan itu dirasa kurang tepat untuk saat ini di tengah jutaan generasi muda berjuang mendapat pekerjaan layak," katanya.


Ia meminta agar masyarakat terus menyuarakan agar pemerintah segera menganulir pengangkatan para pejabat yang masih melakukan rangkap jabatan.


"Yang perlu dilakukan oleh masyarakat tentu adalah menegur pemerintah agar patuh dan taat dengan konstitusi. Terkait dengan teguran itu bisa beranekaragam cara. Tapi yang pasti, pemerintah perlu mendengar aspirasi publik jika nanti terjadi pengabaian konstitusi itu berujung pada aksi viral di ruang publik," jelasnya.


Bahkan, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menyebutkan bahwa jabatan sebagai pejabat publik merupakan pekerjaan utama, bukan sampingan. Ia meminta agar pemerintah dapat memperketat regulasi menjadi pejabat publik agar tidak ada lagi istilah rangkap jabatan.


"Ke depan, mesti ada regulasi khusus terkait aturan rangkap jabatan. Ini sejak lama soal rangkap jabatan jadi polemik. Supaya pejabat itu fokus ke tugas utamanya sebagai pejabat publik. Karena mengabdi pada negara itu bukan sebatas sampingan, tapi yang utama, karenanya butuh fokus," katanya saat dihubungi NU Online pada Rabu (16/7/2025).


Diketahui, putusan nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy Roringkon itu juga menjelaskan bahwa secara eksplisit kedudukan wakil menteri itu sama dengan posisi menteri, mulai dari persyaratan dan kriteria sampai dengan larangannya


"Sebab, posisi wakil menteri bisa saja menggantikan menteri apabila menteri berhalangan, sehingga tidak ada perbedaan terkait dari persyaratan maupun larangannya pada saat menjabat," jelas MK


Selain itu, MK menilai keliru atas pandangan pemerintah terhadap pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 hanya bersifat saran dan tidak memiliki kekuatan mengikat.


"Pertimbangan hukum dalam putusan MK itu bersifat mengikat karena pertimbangan hukum dalam putusan juga merupakan bagian dari putusan, sebab semua bagian yang ada dalam putusan tersebut merupakan satu kesatuan. Sehingga, jelas bahwa sejak putusan dibacakan maka putusan tersebut bersifat mengikat dan harus dilaksanakan sesuai dengan yang tertulis dalam putusan tersebut," tegas MK.