Tes Kemampuan Akademik Dimulai November 2025, Jadi Cermin Mutu Pendidikan Nasional
NU Online · Jumat, 18 Juli 2025 | 13:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Mulai November 2025, seluruh satuan pendidikan di Indonesia akan menyelenggarakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) secara serentak. Kebijakan ini diharapkan menjadi cermin untuk mengukur mutu dan pemerataan pendidikan nasional secara lebih objektif.
Regulasi baru tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Nomor 95/M/2025 yang ditandatangani Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Kebijakan ini merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah memperkuat kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia.
Mu’ti menegaskan bahwa pelaksanaan TKA bukan sekadar rutinitas administratif, melainkan bagian dari visi besar pemerintah dalam mewujudkan layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan.
Hal ini, menurutnya, selaras dengan Asta Cita keempat Presiden RI terkait penguatan sumber daya manusia Indonesia.
"Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sebagaimana Asta Cita keempat Bapak Presiden Republik Indonesia, berusaha untuk membangun generasi Indonesia yang kuat dalam sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, teknologi, dan juga memiliki kepribadian yang utama, mulia," ujarnya dalam Webinar Tes Kemampuan Akademik, dikutip NU Online dari Kanal Youtube KEMDIKDASMEN pada Jumat (18/7/2025).
Menurut Mu’ti, pendidikan tidak boleh berhenti sebagai aktivitas formal semata. Ia menekankan bahwa kualitas pendidikan harus diukur dari sejauh mana peserta didik memiliki kecakapan hidup, keterampilan yang relevan, serta kesiapan menghadapi masa depan.
"Kami berusaha agar setiap anak Indonesia mendapat kesempatan pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Yang kami dorong adalah pendidikan yang bermutu, bukan sekadar formalitas," katanya.
Mu’ti mengakui bahwa penyusunan kebijakan ini melalui proses yang panjang dan dialogis, melibatkan guru, orang tua, akademisi, hingga pegiat pendidikan.
Ia menyadari adanya dua pandangan yang saling berseberangan: satu pihak menolak ujian karena dianggap membebani, sementara pihak lain mendukungnya demi peningkatan mutu pendidikan.
"Kami mencoba mengambil jalan tengah. TKA tidak diwajibkan untuk semua dan tidak menentukan kelulusan. Tapi kalau siswa memilih ikut, maka harus disiapkan secara serius," ungkapnya.
Ia menilai, TKA justru bisa menjadi pemantik semangat belajar serta sarana memperbaiki mutu lulusan, khususnya di jenjang SMP dan SMA. Mu’ti juga menyebut adanya dorongan dari berbagai kalangan, termasuk perguruan tinggi, agar tersedia sistem evaluasi nasional yang objektif.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa TKA tidak boleh menjadi sumber tekanan psikologis bagi siswa. Sebaliknya, tes ini diharapkan menjadi sarana refleksi bersama atas kondisi mutu pendidikan, serta menjadi alat perbaikan layanan pendidikan ke depan.
Peserta, soal, dan proses pelaksanaan
TKA akan diikuti oleh siswa kelas 6 SD/MI, kelas 9 SMP/MTs, serta kelas 12 dan 13 SMA/MA/SMK, termasuk peserta Paket A, B, dan C. Syarat utamanya adalah memiliki NISN aktif, berada di semester akhir, dan menyerahkan surat pernyataan keikutsertaan yang ditandatangani orang tua atau wali.
Soal TKA untuk jenjang SMA/SMK dikembangkan oleh Kemendikdasmen, sedangkan soal untuk jenjang SD dan SMP disusun dengan melibatkan pemerintah daerah.
Mata pelajaran yang diujikan meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Khusus untuk SMK, ditambahkan dua mata pelajaran pilihan seperti Fisika, Ekonomi, Bahasa Asing, atau Kewirausahaan.
Pelaksanaan TKA dilakukan berbasis komputer, baik secara daring maupun semi daring. Sekolah pelaksana diwajibkan memiliki infrastruktur TIK yang memadai, termasuk komputer, koneksi internet stabil, serta proktor dan teknisi terlatih. Sistem ini juga mendukung kebutuhan peserta difabel melalui fitur screen reader.
Meski tidak menjadi penentu kelulusan, Mu’ti menegaskan bahwa TKA memiliki implikasi besar bagi masa depan siswa. Hasil tes ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melanjutkan pendidikan, memasuki dunia kerja, maupun menjadi data mutu pendidikan secara nasional.
"Banyak anak-anak kita kehilangan kesempatan karena tidak ada nilai akademik individual. Maka TKA ini hadir sebagai jembatan, bukan beban," jelasnya.
Mu’ti berharap, melalui TKA, pemerintah dapat menyusun peta pendidikan nasional yang lebih otentik. Data yang dihasilkan bisa menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan berbasis realitas di lapangan.
Ia mengakui bahwa kesenjangan mutu antarwilayah masih nyata, dan hanya bisa diatasi melalui data serta kebijakan yang tepat sasaran.
Pedoman penyelenggaraan TKA juga mengatur peran bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Keterlibatan ini mencakup proses verifikasi data, pencetakan kartu peserta, hingga penerbitan Sertifikat Hasil TKA (SHTKA) dalam format digital.
"Kami membuka ruang agar daerah terlibat aktif, baik dalam penyusunan soal maupun pelaksanaannya. Sistem ini dibuat agar masyarakat memiliki pemahaman yang komprehensif dan turut memberi masukan," ujarnya.
Untuk menjaga kualitas dan keadilan pelaksanaan, seluruh soal TKA disusun oleh guru dan dosen yang memiliki integritas tinggi, serta tidak terafiliasi dengan lembaga bimbingan belajar. Praktik plagiarisme dilarang keras dan akan diawasi secara ketat.
"Tidak ada sistem yang sempurna. Tapi kami berusaha agar sistem ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Dengan TKA ini, kami ingin menumbuhkan semangat belajar dan membangun generasi hebat," pungkas Mu’ti.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
4
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
Terkini
Lihat Semua