Tangerang Selatan, NU Online
Pembahasan mengenai jarangan ulama Nusantara memang menarik, sebab akan mebentuk konektivitas yang saling berhubungan antara satu wilayah ke wilayah lainnya. Salah satu jaringan ulama yang tak boleh diabaikan adalah jaringan ulama Mandar, Sulawesi Barat yang mana menurut penulis buku Masterpiece Islam Nusantara, Zainul Milal Bizawie memiliki hubungan erat dengan jaringan ulama-ulama Jawa.
Ia memaparkan bahwa proses masuknya Islam ke Mandar berbeda dengan masuknya Islam di kawasan etnik Bugis. Di Bugis proses Islamisasi banyak mendapatkan tantangan, sedangkan di kawasan Mandar Islam dapat diterima dengan cara damai.
Dua kerajaan di kawasan Mandar yang pertama masuk Islam adalah Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Pamboang. Sebelum masa Wali Songo, Syekh Jamaluddin Kubro yang merupakan leluhur Wali Songo adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh Islam yang besar baik di Jawa maupun di Sulawesi.
“Usai mengislamkan kebangsaan Majapahit, ia pindah ke Wajo dan melakukan islamisasi di sana, hingga para keturunan dan murid-murid Wali Songo pun banyak yang menyebar di Makassar, Bugis, dan Mandar,” kata Zainul Milal Bizawie dalam kajian Islam Nusantara Center di kediaman Kepala Pusat LKKMO Balitbang & Pusdiklat Kemenag RI, Perumahan Legoso Permai, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten akhir pekan lalu.
Setelah Syekh Jamaluddin Kubro, seorang murid dari Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri yang bernama Datuk Ri Bandang datang ke Goa bersama dua rekannya Sulaiman (Dato’ ri Patimang) Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro) orang Minangkabau.
“Di Mandar sendiri ada tokoh ulama yang bernama RM Suryo Adilogo, seseorang yang pernah menjadi adipati Kediri yang pernah berguru dengan Sunan Bonang,” lanjut Gus Milal.
Masa berikutnya adalah Syekh Zakaria dari Maghribi yang menetap pertama kali di Mamuju awal abad 17, kemudian Syekh Abdul Mannan Tosalamaq dari Demak yang mengislamkan Banggae pada masa pemerintahan Raja Balanipa keempat.
etelahnya ada Abdurrahim Kamaluddin bangsa Arab dilanjutkan oleh Sayid Al Adiy keturunan Malik Ibrahim dari Jawa yang memiliki pengaruh di Polewali, Mandar. Jaringan ulama Campalagian Manjopai pada abad 19-20 juga melahirkan ulama-ulama yang memiliki pengaruh besar.
“Manjopai ini asalnya dari Majapahit,” jelas Gus Milal.
Di antara ulama-ulama tersebut adalah Sayyid Abdullah bin Husain bin Sahl Lasem, Rembang ayah dari Habib Alwi bin Sahl Jamalullai (Puag Towa) yang memiliki keturunan bernama Habib Hasan bin Alwi (Puang Lero) ia adalah sahabat dari Muhammad Thahir (Imam Lapeo) yang merupakan murid dari Mbah Kholil Bangkalan bersama Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.
Awal abad 19 muncul juga seorang tokoh bernama Haji Muhammad Amin dari Banyuwangi Ketapang yang mendirikan masjid Campalagian.
“Jika terjadi konektivitas antara ulama di Campalagian dengan ulama Banyuwangi mungkin dapat ditelusuri dari jejak tersebut,” papar Gus Milal.
Ketika Turki runtuh, seorang tokoh terkenal bernama Syekh Said al Yamani beserta anaknya yang bernama Syekh Soleh bin Said al Yamani dan Syekh Hasan bin Said al Yamani datang ke Nusantara tiga tahun sebelum Makkah dikuasai oleh King Saud.
“Ketika di Batavia ia mencari seorang ulama bernama bernama Muhammad Arsyad Maddappungen hingga berkunjung ke Polewali, di sini lah Syekh Hasan putra Syekh Said menetap yang kemudian banyak ulama yang belajar kepadanya,” terangnya.
Di antara ulama yang belajar kepadanya adalah KH Yahya Abdurrazaq juga KH Muhammad Zein yang merupakan tokoh sentral yang juga melahirkan banyak ulama.
“Muhammad Zain, Kepala Pusat LKKMO Balitbang & Pusdiklat Kemenag RI juga salah satu muridnya,” ungkapnya
Menurut Gus Milal, menelusuri jaringan-jaringan ulama yang ada di Nusantara ini menjadi penting, untuk membuktikan bahwa ulama-ulama kita memiliki keterhubungan terutama antara ulama Jawa dan Mandar.
“Dari hubungan inilah yang kemudian mampu menyatukan Indonesia,” pungkasnya. (Nuri Farikhatin/Fathoni)