Nasional

Membaca Danarto, Sastra dan Sufi Bertentangan?

Senin, 29 April 2019 | 13:00 WIB

Membaca Danarto, Sastra dan Sufi Bertentangan?

Napak Tilas Danarto

Tangerang Selatan, NU Online
Hampir semua orang sepakat dengan pelabelan Danarto sebagai seorang sastrawan sufi. Unsur sufistiknya mewujud dalam karya-karya sastranya, baik cerpen, drama maupun puisi.

Jika dilihat sekilas, sastra dan tasawuf seolah dua hal yang bertentangan. Abdullah Wong menjelaskan bahwa definisi tasawuf dengan mengutip pendapat Syekh Ibnu 'Athaillah al-Sakandari.

"Dunia di mana ego harus dibenamkan sebenam-benamnya," katanya saat menjadi narasumber pada Bincang-bincang Membedah Pemikiran Danarto dari Berbagai Perspektif di Hall Student Center, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Senin (29/4).

Sementara sastra justru sebaliknya, yakni menunjukkan keadaan dirinya. "Sastra itu bagian dari bagaimana seorang mengaktualisasikan dirinya, menegaskan dirinya ada," ujar Wakil Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu.

Namun, laku seperti Danarto ini bukan perkara baru di Indonesia. Para ulama sufi terdahulu juga melakukan hal yang sama. Wong menyebut Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdusshomad al-Falimbani, hingga Nafis al-Banjari. Mereka mengaktualisasikan pemikirannya ke dalam bentuk tembang, suluk, ataupun sastra lainnya.

Wong mengungkapkan bahwa amal hanyalah sebuah gambaran, sedangkan intinya terdapat di dalam sehingga tak dapat terlihat oleh orang lain.

"Kalau sudah bicara keikhlasan itu sudah bukan wilayah kita," kata alumnus Pondok Pesantren Babakan, Lebaksiu, Tegal itu pada kegiatan rangkaian Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama) Jilid 4 tersebut.

Danarto, katanya, tidak pernah mengklaim dirinya sebagai sufi, ahli metafisika, ahli spiritualis. Sebab, laku tasawuf itu, mengutip Syekh Junaid al-Baghdadi, Wong menjelaskan bahwa mestinya menyembah Allah tanpa ada kemelekatan dengan apapun.

"Makanya, orang-orang seperti Ronggowarsito dan Mas Dan, laku spiritualitasnya sudah menjadi," ujar penulis novel Mata Penakluk, Manaqib Abdurrahman Wahid itu.

Danarto, dalam pandangan Abdullah Wong, merupakan sosok sastrawan yang mampu mengartikulasikan karya-karyanya itu menjadi laku kehidupannya.

"Beliau disebut sebagai pelukis, atau cerpenis, atau Anda menyebutnya sastrawan barangkali, saya kira itu sangat tidak penting bagi seorang pejalan," katanya dalam diskusi yang dipandu oleh Makyun Subuki, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Jakarta itu.

Kegiatan yang mengangkat tema Napak Tilas Danarto ini juga menghadirkan Sastrawan Acep Zamzam Noor, Sapardi Djoko Damono, dan Radar Panca Dahana. (Syakir NF/Muhammad Faizin)


Terkait