Jakarta, NU Online
Nahda, berlatar keluarga besar Katholik membuat pelajar putri MAN 1 Kota Magelang ini tertarik untuk mengkaji lintas agama. Siswi bernama lengkap Nahda Ellenitu pernah nyantri di Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang asuhan KH M. Yusuf Chudlori.
Saat pertama kali nyantri, ia dikira muallaf mengingat namanya yang tidak Islami. Hal ini pula yang mempertegas langkahnya guna mengikuti lomba esai nasional yang digelar oleh Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).
“Keluarga besar saya Katholik. Saya juga dikira muallaf di pondok,” ujarnya sembari tertawa kecil usai acara yang bertajuk Gala Diner dan IPNU Essay Award selesai, Kamis (8/12) dalam rangkaian kegiatan Rakernas IPNU di Jakarta.
Ia juga tergabung dalam satu klub yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari seminar lintas agama. Ini pula yang meyakinkan dirinya untuk semakin melaju dalam menuliskan pengalaman dan hasil olah pikirnya tentang arti perbedaan dan toleransi.
Bagi siswi kelas XII itu, persatuan bukan berarti pencampuradukan. Tetapi, persatuan adalah berbeda-beda pada satu wadah dalam kerukunan.
Berbeda dengan Nahda, Fidelia Febi lebih menitikberatkan pada sentimental antaragama yang terjadi di dalam dunia pendidikan. Mayoritas pemegang kuasa seringkali menyampingkan potensi minoritas.
Meskipun terkadang, menurutnya, potensi minoritas lebih baik daripada mayoritas. Siswi SMA 1 Ungaran itu menekankan bahwa persatuan dan kesatuan itu dapat memperkuat posisi kita. Tidak perlu ada lagi sentimen antarras, suku, ataupun agama. Siswi yang akrab dipanggil Febi itu berhak menjadi juara tiga.
Dua pelajar putri di atas menguraikan tentang toleransi beragama. Mereka menyampaikan gagasannya masing-masing dalam ranah yang hampir sama. Denny Taruma Primananda mengambil tema yang berbeda. Berbekal dorongan kakaknya, ia bertekad mengingatkan pelajar Indonesia untuk pintar-pintar bergaul.
Hal ini ia tuliskan karena melihat maraknya radikalisme, terorisme, dan penggunaan narkoba yang dilakukan oleh para remaja. Siswa SMA 1 Pundung, Bantul, Yogyakarta, itu sangat prihatin akan hal itu. Tulisannya ini mengantarkannya menjadi terbaik kedua.
Sementara itu, terbaik keempat diraih oleh Slamet Daroini. Siswa SMK Al-Hikam Madiun itu menuliskan tentang wajah pendidikan di perbatasan. Ia termotivasi menuliskan hal tersebut dari materi yang ia simak betul saat mengikuti Masa Kesetiaan Anggota (Makesta).
Ia tergugah mendengar masih banyak saudara-saudaranya yang rela berjalan berkilo-kilo meter demi mengenyam pendidikan lalu kecewa karena tak ada pengajarnya. Menurutnya, solusi terbaik untuk hal tersebut adalah dibangunnya sarana dan prasarana yang memadai sehingga mereka tak lagi perlu jauh berjalan kaki demi ilmu yang dipelajari. (Syakir/Fathoni)