Nasional

Putri Bungsu Gus Dur Berjualan Jamu Gendong

Sabtu, 3 Desember 2016 | 23:04 WIB

Putri Bungsu Gus Dur Berjualan Jamu Gendong

Keterangan foto: Inayah dalam pentas Sabdo Pandito Rakyat, di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jumat 2 Desember. Foto oleh Andrew Prawiro Hakim

Jakarta, NU Online

Berkali-kali terlibat dalam pementasan teater, awal Desember ini, Inayah Wahid kembali tampil. Ia berperan sebagai penjual jamu keliling. Pada pentas berjudul “Sabdo Pandito Rakyat”, putri bungsu Gus Dur berdialog dalam bahasa dan logat Banyumasan.

Kepada NU Online, Kamis (1/12) Inayah bercerita bagaimana uniknya menjalani perannya kali ini.

“Keunikan di pementasan kali ini banyak menitikberatkan pada spontanitas. Jadi muncul percakapan spontan antarpemain. Saya harus mampu menanggapi dalam aksen atau bahasa Banyumas, yang sebenarnya bukan bahasa saya,” terang salah satu pendukung serial OK-JEK tayagan sebuah stasiun televisi nasional.

Inayah pun mengaku mendapat kesusahan pada awalnya. Untungnya ia dibantu banyak pihak untuk mempelajari dialog Banyumasan.

“Saya dibantu teman-teman, baik dari tim kreatif dan pemain, juga teman-teman dari luar yang tidak terlibat di pentas ini. Mereka mengajari bagaimana pengucapan logat Banyumas, juga istilah-istilah khusus Bahasa Banyumas,” kata Inayah yang ditemui di sela-sela gladi bersih pementasan yang disutradarai Sujiwo Tejo.

Keunikan lainnya bagi Inayah, pada pementasan kali ini ia beradu akting dengan banyak pemain senior. Selain Sujiwo Tejo, ada Butet Kertarajasa, Marwoto, Didik Nini Thowok, Cak Lontong, Happy Salma.

“Berakting satu panggung dengan para senior itu juga tantangan buat saya. Mereka sudah punya jam terbang yang panjang,” tutur Inayah.

“Sabdo Pandito Rakyat” berkisah tentang Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit yang sangat terkenal pada masanya dan eksis hingga tahun 1980-an. Kiprahnya dalam bidang seni sempat mendorong Presiden Soeharto untuk memberikan penghargaan.

“Ki Narto Sabdo itu orangnya kadang kekurangan, tapi selalu mau membantu. Kehidupan Ki Narto Sabdo dalam berksenian digabungkan dengan situasi zaman sekarang. Ada kelompok yang merasa lebih baik daripada kelompok lain, kritikan ini yang ingin disampaikan,” tambah Inayah..

Agus Noor, salah satu tim kreatif pementasan, menuturkan pentas tersebut berangkat dari adanya konflik horizontal yang terjadi saat ini. 

“Untuk menyelesaikan konflik-konflik itu, Agus menyebut, harus ada toleransi seperti yang dicontohkan Gus Dur. Ada banyak pemikiran Gus Dur yang menjadi pesan dalam pentas tersebut. 

“Gus Dur misalnya mengingatkan ‘vox pupuli vox dei’, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kita harus melihat dengan jernih semua persoalan. “Sabdo Pandita Rakyat” itu adanya kehendak rakyat yang harus kita dengarkan,” kata pria yang dikenal piawai dalam penulisan naskah.

“Sabdo Pandito Rakyat” hadir 2 dan 3 Desember pukul 20.00 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. (Kendi Setiawan/Abdullah Alawi)




Terkait