Radhar Panca Dahana: Islam adalah Orang Nusantara Itu Sendiri
Senin, 4 Mei 2015 | 08:01 WIB
Jakarta, NU Online
Orang-orang Nusantara adalah bangsa bahari yang sangat inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin. Jadi, sesungguhnya Islam adalah orang-orang Nusantara itu sendiri.<>
Demikian disampaikan oleh Budayawan Radhar Panca Dahana ketika menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Islam dan Budaya Nusantara dalam peringatan Dies Natalis ke-13 Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta yang mengusung tema 'Kita adalah Islam Nusantara' pada Ahad, (3/5) malam di Jl Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat.
Radhar menguraikan perbandingan bangsa bahari dengan bangsa kontinental seperti di Arab dan Eropa. Menurutnya, peradaban bahari itu sama rata sama rasa, inklusif, kosmopolit, multikultural, interkultural/gotong royong, egaliter, dan open minded. Identitas bangsa bahari ini sangat melekat pada diri bangsa Indonesia dan tidak dipunyai oleh bangsa kontinental.
“Lihatlah horison laut, tidak sama tinggi atau rendah, semua setara. Hal ini berbeda dengan peradaban orang-orang kontinental yang cenderung tidak akomodatif, bersifat dominatif, selalu ingin menguasai,” papar penulis buku ‘Agama dalam Kearifan Bahari’ ini.
Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini juga menjelaskan bahwa budaya kontinental yang cenderung vertikal memunculkan budaya monumen. Mereka selalu mengabadikan segala sesuatunya dalam bentuk monumen. Sedangkan monumen sendiri bermuara pada pucuk yang paling tinggi, konsekuensinya ada yang paling rendah.
Dari satu peradaban ke perdaban lain, lanjut Radhar, budaya kontinental bersifat reduktif. Budaya baru, harus menghancurkan budaya yang lama. Satu teori harus menghapus teori yang lama. Bahkan, Tuhan baru harus menhancurkan Tuhan yang lama.
“Sedangkan budaya Nusantara tidak demikian. Yang namanya tradisi tidak pernah beku karena dia selalu menyesuaikan,” urainya dihadapan para mahasiswa dan dosen STAINU Jakarta.
Menurutnya, tradisi yang tidak pernah beku inilah yang sesungguhnya bersifat kontemporer karena selalu menyesuaikan diri dengan hal-hal baru. “Karakter seperti ini tidak dipunyai oleh bangsa manapun di belahan bumi, kita harus bangga,” tegasnya.
Di akhir orasinya, Radhar menegaskan, bahwa kita menunaikan shalat, kita ruku dan sujud. Itu artinya Tuhan ada pada kerendahan. Bukan pada ketinggian. “Oleh karena itu, hiduplah pada kerendahan hati dan jiwa. Hadirlah kepada rakyat jelata, karena di situlah Tuhan berada. Kemanfaatan hidup adalah ketika kita mampu memberi manfaat kepada orang lain, itulah Islam,” pungkasnya. (Fathoni)