Jakarta, NU Online
Menyangkut pelaksanaan kewajiban keagamaan, kaum difabel juga masih memiliki kesusahan akses. Hambatan kalangan disabilitas dalam melaksanakan hak-hak keagamaan nyaris tidak pernah mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun agamawan. Tempat-tempat ibadah misalnya masjid, nyaris tidak ada yang aksesible terhadap disabilitas.
"Hambatan kelompok disabilitas di bidang keagamaan tidak terbatas pada aspek-aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lainnya," kata Sekretaris LBM PBNU, H Sarmidi Husna pada Diskusi dan Peluncuruan buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, Kamis (29/11) di Aula Kemenko PMK, Jakarta.
Sarmidi merinci aspek-aspek tersebut di antaranya terbatasnya bahan bacaan keagamaan seperti Al-Qur’an, hadits, fiqh dan lainnya untuk kaum disabilitas untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Bahan-bahan bacaan ini terutama untuk tuna netra membuat akses mereka untuk bisa memperoleh pengetahuan agama secara mandiri menjadi sangat terbatas.
"Padahal, untuk urusan wudlu dan shalat misalnya, banyak sekali masalah yang harus diketahui oleh penyandang disabilitas sehingga di satu sisi mereka lebih paham dan di sisi lain juga mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka kerjakan sudah sesuai dengan tuntunan agama," ujarnya.
Kedua, terbatasnya dai dan ustadz dari kalangan disabilitas. Ini menjadi persoalan karena para dai dan ustadz yang ada sekarang tidak sepenuhnya punya perspektif yang ramah disabilitas. Akibatnya, kalangan disabilitas seringkali merasa tidak nyaman dengan ustadz-ustadz atau dai yang tidak memiliki sensitivitas terhadap disabilitas. Dengan demikian sangat dibutuhkan dai dan ustadz dari kalangan mereka sendiri yang sudah pasti sangat paham situasi yang dihadapi komunitasnya.
Berikutnya, majelis taklim atau kegiatan-kegiatan keagamaan tidak aksesible terhadap kalangan disabilitas. Di samping tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan tersebut kurang aksesible, jamaah sendiri seringkali punya stigma atau prasangka negatif terhadap kelompok disabilitas, sehingga mereka juga tidak merasa nyaman berada di tempat pengajian. Belum lagi penceramahnya jarang yang punya sensitivitas terhadap kelompok disabilitas.
Berdasarkan tantangan dan hambatan penyandang disabilitas di atas, disusunlah buku yang hari itu diluncurkan dan didiskusikan. Buku tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman untuk melakukan upaya mengatasi tantangan dan hambatan penyandang disabilitas, yaitu mengubah pandangan yang negatif (stigma) menjadi respek dan penuh empati oleh berbagai pihak terhadap disabilitas dan penyandang disabilitas. Pandangan yang penuh rasa iba (kasihan) agar diubah menjadi pandangan pemberdayaan dan pemenuhan hak disabilitas.
Harapan lainnya, memberi penyadaran kepada masyarakat atau jamaah agar tidak memperlakukan penyandang disabilitas secara diskriminatif; mendorong penyediaan sarana dan prasarana yang ramah terhadap penyandang disabilitas dalam lembaga pendidikan dan sarana peribadatan; mendorong pemerintah agar memudahkan akses informasi dan kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam segala lini kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.
Sarmidi menyebutkan penulisan buku dilakukan melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan beberapa pihak. Berbagai kegiatan seperti Halaqoh, FGD, Bahtsul Masail, dan lainnya telah dilakukan yang melibatkan para kiai dan ulama, pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, akademisi, dan lainnya. Buku mengupas butir demi butir aspek penguatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang ditinjau berdasarkan sumber Islam seperti Al-Qur’an, Hadits, dan aqwalul ulama atau pendapat para ulama. (Red: Kendi Setiawan)