Oleh Abdullah Alawi
Hasbulloh dia punya nama, tinggal di desa Cimerah, Tasikmalaya. Lahir di tanah perjuangan KH Zainal Musthafa, pahlawan santri yang berdiri tegak melawan penjajah.
"Leuwih hade balik ngaran daripada kudu seikerei (lebih baik baik pulang tinggal nama daripada harus menunduk ke arah Tokyo, seikerei).”
Hasbulloh, 38 tahun sudah menjadi Banser. Sebelumnya, 12 tahun aktif di Pemuda Ansor yaitu sejak 1970 hingga 1982. Namun, bukan berhenti sama sekali karena ia memilih aktif di Banser, salah satu badan otonom di GP Ansor. Pada tahun yang sama, ia diminta RT setempat untuk menjadi anggota Pertahanan Sipil (Hansip) atau sekarang Linmas. Ia menyanggipinya.
“Saya tentara NU merangkap tentara RT,” kata Hasbulloh.
Kedua aktivitas itu bertahan di bahunya hingga kini. Dan khusus untuk Banser, ia tak mau pensiun.
Usianya kini 74 tahun. Namun, masih segar. Pendengaran dan penglihatannya masih normal. Ia tinggal sendirian karena istrinya telah meniggal lima tahun lalu.
Usianya makin tua sebetulnya menjadi pertimbangan pengurus GP Ansor Tasikmalaya untuk tidak melibatkannya dalam kegiatan. Sekali waktu pernah ada kegiatan Ansor tanpa memberitahunya. Bukan malah senang, Hasbulloh malah besar. Akhirnya kegiatan-kegiatan apa pun diberi tahu.
Bagi Hasbulloh jika tak ada kegiatan NU dan sebangsanya, sepertinya hidup terasa hampa. Gatal. Ia akan menjadi makhluk yang menopang dagu di kediamannya.
Menjadi Banser sebetulnya bukan kegiatan yang bergelimang uang. Untuk pergi ke kegiatan Banser, sering tak mempunyai uang sepeser pun. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk berangkat.
Pada peringatan Hari Santri Nasional tahun ini, 22 Oktober lalu, dia mendapat jatah jaga di Cipasung. Untuk pergi ke pesantren itu, ia harus meminjam uang kepada anaknya sebesar 20 ribu rupiah.
Uang itu habis untuk untuk membeli bensin motor teman sesama Banser yang ditumpanginya. Beruntung, sepulang acara itu, ia diberi uang 25 ribu oleh panitia. Setelah membayar lunas kepada anaknya, ada sisa ribu rupiah.
Apa sebetulnya yang membuat dia bertahan di Banser. Sebetulnya hanya dia dan Tuhan yang tahu. Namun, pengakuannya adalah karena turut serta dengan kiai. Dengan menjaga kegiatan-kegiatan NU menjadi bagian dari ladang amalnya.
Hasbulloh, jangankan seperti kalian, berusaha membangun rumah atau membeli kendaraan, untuk membeli sepatu Banser pun tidak mampu. Sepatu yang digunakannya dalam bertugas selama ini, adalah sepatu Hansip.
Jika Saudara ingin tahu apakah di hatinya ada kalimat tauhid, la ilaha illallah muhammadur rasulullah, belahlah dada makhluk yang saban malam tahajud ini!