Opini

Makna Kematian Para Kiai

Senin, 31 Desember 2018 | 16:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Tahun ini, yang terekam NU Online, situs resmi PBNU, hampir 30 kiai meninggal dunia. Mereka adalah pengurus atau tokoh NU baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat. Mereka memiliki keahlian khusus misalnya dalam bidang fiqih, faroid, falak, khitabah (ceramah), bahkan matematika. Ada juga yang keahliannya menciptakan lagu dan menulis kitab.

Pada bulan Mei, warga NU ditinggal lima tokohnya yaitu pada waktu berdekatan NU. Secara beruntun NU ditinggal KH Sholeh Qosim (Sidoarjo) pada (10/5), KH Amin Chamid (Magelang) pada Kamis (10/5), dalang Ki Enthus Susmono (Tegal) pada Senin (14/5), KH Bukhori Masruri (Semarang) dan KH Maghfur Utsman Rabu (17/5). 

KH Sholeh Qosim (Sidoarjo), seorang laskar Sabilillah yang turut bertempur pada peristiwa 10 November di Surabaya, penasihat Masjid Agung Sunan Ampel dan JATMAN Wustho Jatim (banom tarekat NU).

KH Amin Chamid (Magelang), Penasihat Majelis Dzikir Rijalul Ansor. Dalang Ki Enthus Susmono (Tegal), pernah Satkorcab Banser Tegal, Wakil Ketua Lesbumi PBNU. 

KH Bukhori Masruri (Semarang) seorang penceramah dan pencipta lagu-lagu kasidah Nasida Ria, Ketua PWNU Jawa Tengah 1985-1995. Menurut Mustasyar PBNU Mustofa Bisri, almarhum merupakan seorang penceramah dengan hati. 

KH Maghfur Utsman, Pengasuh Pondok Pesantren As-Salam Cepu, Mustasyar PBNU 2010-2015

Di tahun ini ada dua kematian kiai yang membuat publik geger, pertama yaitu di Desa Noyontaan, Pekalongan Timur geger seorang imam meninggal saat shalat tarawih pada Selasa malam (29/5). Sang imam tersebut adalah Ustadz Nasrullah, Rais Syuriyah PRNU Noyontaan

Kedua, penceramah kondang NU di Malang, KH Buchori Amin meninggal dunia, Sabtu (15/12). Ia meninggal saat berceramah di peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Al Islahiyah Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia merupakan Wakil Rais Syuriyah Malang. 

Tentang kematian para kiai, Penjabat Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar berpendapat, meninggalnya para kiai merupakan kesedihan yang luar biasa. Menurut dia, meninggal seorang alim ibarat retaknya sebuah bangunan yang sempurna. Keretakan itu tidak akan pernah tersempurnakan lagi karena seorang alim tersebut membawa pergi ilmu, kelebihan, kebijaksanaannya, dan lainnya. 

Karena, ketika seorang alim wafat, yang ditinggalkannya paling juga hanya 10 persen. Sementara sisanya terbawa dengan sendirinya. 

Hal senada diungkapkan Mustasyar PBNU KH Ma’ruf Amin dalam berbagai kesempatan. Menurutnya, mautul ‘alim, mautul alam. Wafatnya orang alim, itu matinya alam. Bahkan menurut dia, setiap ulama meninggal, segala kharisma bahkan ilmunya dibawa pergi. 

Dengan demikian, mendukung santri-santri di pesantren untuk tafaquh fid din adalah hal yang niscaya. Persemaian bibit-bibit santri merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, semakin lama orang yang benar-benar paham soal agama atau ulama semakin berkurang karena dimakan usia. Nah, keberadaan santri diharapkan dapat menjadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan para ulama di masa yang akan datang 

Sebab, kalau tidak ada penerus para kiai yang alim, sangat berbahaya. Kalau sampai tidak tersisa orang alim, manusia akan mengangkat manusia zalim sebagai pemimpinnya, maka mereka semua sesat dan menyesatkan. (Abdullah Alawi)



Terkait