Opini

NU yang Tetap Populis walau Lahir di Kota Metropolis

Selasa, 5 Februari 2019 | 09:00 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Penilaian organisasi tradisional dan modern menjadi dikotomi tersendiri terhadap perkumpulan umat Islam di Indonesia dalam sebuah wadah. Sebut saja Nahdlatul Ulama (NU) dianggap identik dengan kaum tradisionalis, sedangkan Muhammadiyah dianggap sebagai wadah kaum modernis.

Sebutan tradisional identik dengan hal-hal klasik dan orang-orang desa. Barangkali sebutan tersebut muncul karena organisasi para kiai pesantren ini yang paling getol merawat tradisi yang berkembang di tengah masyarakat desa. Namun, ada hal yang kerap kali dilupakan oleh para akademisi dan peneliti bahwa NU menjunjung tinggi al-akhdzu (mengambil, upaya pembaruan), bukan hanya melakukan usaha al-muhfadzah (pelestarian).

Dua term tersebut bersifat aktif, tidak pasif. Artinya, nilai-nilai dari perkembangan budaya semodern apapun akan diterima oleh NU selama budaya tersebut baik dan sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Sebaliknya, NU akan sekuat tenaga menjaga tradisi lama yang baik meskipun perubahan zaman terus menggempur dengan perkembangan yang begitu cepat.

Dalam konteks tersebut, barangkali hanya NU yang mampu memodernisasi tradisionalitas sekaligus mentradisionalisasi modernitas. Dengan kata lain, NU melampui tradisionalisasi dan modernisasi itu sendiri. Hal ini terlihat ketika NU beberapa kali terlibat perlawanan dengan penjajah, baik secara kultural, fisik, maupun mental.

Tradisi keilmuan pesantren yang didasarkan pada kitab-kitab ulama klasik (turats) membuat para kiai mampu mengadaptasi diri terhadap lingkungan sekitar, termasuk ketika umat Islam menghadapi tantangan global dan penjajahan di lingkup nasional. Upaya diplomasi saat para kiai harus berhadapan dengan Raja Saud di Arab Saudi soal pembongkaran makam Nabi dan pemberangusan praktik bermadzhab di tanah Hijaz (Makkah-Madinah) menunjukkan kepiawaian kiai pesantren dalam menghadapi tantangan global.

Diplomasi tersebut berlanjut ketika bangsa Indonesia harus dibebaskan dari belenggu penjajahan. Langkah dan upaya para kiai tidak berangkat dari ruang kosong, tetapi berdasarkan pijakan ilmu dan karakter populis yang tidak hanya mengedepankan kepentingan pribadi, tetapi masyarakat secara luas. Karakter populis, membumi, dan terus berdampingan dengan masyarakat grass root merupakan hal yang berbeda ketika melihat bahwa kenyataannya NU lahir di Surabaya, kota metropolis, kota dengan perkembangan ekonomi yang melebihi kota-kota besar di dunia.

Catatan Sejarawan Abdul Mun’im DZ (2011) dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan, sekitar tahun 1900-1940, Surabaya merupakan kota dagang dan industri yang sangat besar melebihi Batavia, lebih maju dibanding pusat industri di Kyoto (Jepang) atau pun Kalkuta dan Bombay di India. Sementara saat itu Singapura, Hong Kong, dan Tokyo masih berada di belakangnya.

Surabaya selain menjadi kota pusat perdagangan dan industri juga merupakan kota minyak yang kaya, sehingga merupakan pusat perdagangan dunia yang telah menerapkan teknologi paling canggih produk revolusi industri. Maka tidak aneh kalau para kiai pesantren di Kota Surabaya banyak terlibat dalam berbagai bisnis, baik antar-kota, antar-pulau, bahkan bisnis antar-benua.

Di Kota metropolitan Surabaya itulah NU lahir dan berkembang, bukan lahir di pedesaan. Namun, pembelaan terhadap masyarakat bawah di pedesaan dilakukan oleh NU sehingga tidak memiliki sekat, tetap memiliki sikap egaliter dan populis terhadap seluruh lapisan masyarakat.

Pusat perdagangan dan industri saat itu berada di Pabean dekat Ampel, Surabaya. Walaupun NU berwatak metropolis namun tetap bersikap populis, giat membangun mesyarakat desa dan masyarakat terbelakang pada umumnya.

Pada kurun waktu tertentu sebelum NU dideklarasikan pada 31 Januari 1926, perjuangan kiai pesantren untuk kepentingan dakwah, pendidikan, sosial, dan politik kebangsaan tercurah dalam wadah Nahdlatul Wathan (gerakan kebangsaan) dan Tashwirul Afkar (gerakan akademik, pemikiran). Gerakan nasional untuk kepentingan rakyat dan bangsa tersebut selama itu pembiayaan ditanggung oleh para dermawan setempat secara sukarela.

Para kiai menyadari bahwa kebutuhan pergerakan semakin besar, maka tidak lagi cukup dengan dana yang ada, baik untuk membiayai pendidikan atau untuk aktivitas lainnya seperti kegiatan sosial dan politik. Melihat kenyataan tersebut, tidak ada cara lain untuk memperkuat gerakan Islam ini kecuali dengan membentuk lembaga dagang.

Lembaga dagang tersebut dikelola oleh para kiai pesantren. Maka didirikanlah wadah perkumpulan bernama Nahdlatut Tujjar (gerakan pedagang) pada tahun 1918 dengan mendirikan Badan Usaha Al-Inan yang diketuai langsung KH Hasyim Asy’ari dan menjabat sebagai bendahara KH Abdul Wahab Chasbullah. Selain Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar merupakan organisasi yang menjadi embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.

Masih menurut catatan Mun’im, pembentukan Nahdlatut Tujjar di Surabaya dengan kondisi kota yang sangat mendukung dalam melakukan upaya perdagangan dan bisnis, kegiatan para kiai mendapat sokongan penuh dari gerakan para pedagang itu. Kelompok itulah yang berhasil mengumpulkan dana untuk membiayai Komite Hijaz ketika mengirimkan delegasi untuk menyampaikan aspirasi warga NU pada Raja Saudi agar tetap dilakukan kebebasan bermadzhab di Haramain.

Selain itu, Muktamar NU pada masa-masa awal juga dibiayai oleh para suadagar tersebut. Pondasi kemandirian itu membuat NU menjadi organisasi yang non-kooperatif dengan penjajah. Para kiai tidak mau bekerja sama dengan penjajah karena NU juga berkwajiban membebaskan rakyat dari ketidakperikemanusiaan kolonial. Karena perjuangan menyebarkan Ahlussunnah wal Jamaah dan semangat kemerdekaan tidak akan mudah dilakukan jika NU tidak terbebas dari campur tangan penjajah.

Langkah kemandirian dalam melakukan perjuangan tersebut membuat NU disegani sekaligus terus dimata-matai oleh penjajah, baik ketika masa penjajahan Belanda maupun Jepang (Nippon). Bahkan, di masa-masa awal ketika bangsa Indonesia benar-benar diakui kedaulatannya, perjuangan menegakkan eksistensi bangsa dan negara terus menemui rintangan tidak mudah.

Hingga saat ini pun, gelora NU tak pernah padam dalam menghadapi kelompok-kelompok yang berusaha memecah belah bangsa Indonesia. Ini merupakan bukti bahwa organisasi yang selama ini dianggap tradisional justru mampu menghadapi tantangan di setiap zaman.

Bahkan modernisasi zaman saat ini berhasil dikembangkan oleh para generasi NU, baik di bidang perkembangan teknologi maupun bisnis digital, termasuk menciptakan media berbasis online yang pondasinya telah lama diajarkan oleh wartawan-wartawan NU generasi awal. Di bidang keagamaan dan sosial-kemasyarakatan, NU tentu terdepan. Wallahu’alam bisshawab.


Penulis adalah Pengajar Sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta; Redaktur NU Online


Terkait