Mengenal Allah adalah keniscayaan dan kewajiban yang paling utama bagi umat Muslim. Menurut kelompok Asy’ariah, manusia mampu mengenal Allah hanya melalui instrumen akal semata. Tetapi, keharusan mengenal Allah pastilah berasal dari wahyu, yang sejauh ini dianggap lebih kompatibel ketimbang akal yang serba terbatas dan tumpul tentang hal-hal meta-empirik.
Kita boleh jadi mampu membedakan setiap jenis kebaikan dan keburukan, tetapi terkait dengan hal-hal gaib, tak akan mampu dicapai oleh akal, apalagi dalam hal memercayainya. Dalam banyak hal, kita hanya bisa mengetahui hal-ihwal tentang Allah melalui perbuatan-perbuatan-Nya dan mengenal diri sendiri juga dapat menjadi jalan bagi pengetahuan tentang Allah.
Seperti ungkapan Sayyidina Ali RA. “Barang siapa mengenal dirinya pastilah ia akan mengenal Tuhannya”. Kata Socrates “Kenalilah dirimu”. Betapa pengenalan akan diri sangat membantu dalam hal mengenal pribadi Allah. Sebagaimana dalam penjelasan tradisi sufisme, manusia adalah representasi paling sempurna dari wujud Allah, sehingga sangat mungkin mengenal-Nya melalui ciri khas yang ada dalam diri manusia.
Sebagai makhluk spiritual yang memiliki pengalaman fisik dan bukan sebaliknya, manusia pasti menyadari akan adanya sang pencipta. Akal sehat, di mana setiap manusia merasa memilikinya, tidak akan mampu memahami dan membayangkan bagaimana kehidupan yang maha luas ini bisa bergerak melalui hukum-hukum yang stabil.
Allah itu transenden, melampui segala sesuatu dan tidak ada makhluk apa pun yang dapat menyerupainya. Hanya sifat-sifat-Nya saja yang mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan tentang Allah, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an.
Menurut konsepsi imam Asya’ri, sifat-sifat Allah yang memiliki orientasi positif, seperti maha kuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, kalam dan lain sebagainya, ada secara imortal bersama wujud-Nya dan melekat di dalam dzat-Nya. Hal ini berbeda secara tegas dengan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa substansi dan sifat Allah adalah serupa dan sama saja.
Kelompok Mu’tazilah merasa bahwa jika sifat dan dzat itu berbeda, maka pasti akan terjebak pada dualisme dan akan berkonsekuensi pada ketidakesaan Allah, sebab ada dua wujud yang sama-sama memiliki orientasi sebagai entitas sendiri-sendiri, yakni sifat dan dzat. Sehingga bagi mereka, dua hal itu sama saja dan bersemayam satu sama lain tak terpisahkan. Konsekuensi pandangan ini mengakibatkan Mu’tazilah menganggap Al-Qur’an itu makhluk dan baru, serta bukan bagian dari sifat, apalagi dzat.
Hal ini amat berbeda sama sekali dengan pandangan kelompok Asy’ariah. Kaum Asya’ri beranggapan dan percaya bahwa Al-Qur’an itu adalah firman yang kekal, abadi dan bukan makhluk. Pandangan ini merupakan dampak dari pemahaman bahwa kalam sebagai salah satu sifat Allah adalah kekal dan abadi. Jadi sangat wajar jika Kaum Asy’ari berpendapat demikian. Hanya, menurut mereka, huruf, tinta dan kertas yang menopang entitas Al-Qur’an dalam wujud materialnya adalah ciptaan dan justru tak lebih dari produk buatan manusia.
Di sisi lain, betapapun pengetahuan manusia tentang Allah telah ditopang oleh wahyu, tetap saja ia sangat terbatas. Sebab wahyu adalah informasi mentah yang tak mungkin bisa dipahami kecuali melalui akal pikiran. Sementara akal sangat terbatas dalam mengetahui sesuatu. Kinerja akal memang tidak terbatas, tetapi produk pikiran selalu memiliki keterbatasan-keterbatasan dan akan menemukan jalan buntunya ketika bersinggungan dengan hal-hal gaib atau di luar pengalaman materi.
Pikiran memang bisa menghasilkan hal-hal abstak, ia bisa berpikir tentang wujud yang tidak memiliki preferensinya dengan realitas. Seperti konsep, angka dan abstraksi-abstraksi realitas, tetapi pada saat yang sama akal tidak mampu masuk ke dimensi lain selain realitas empiris yang memiliki akar-akar inderawi. Hal ini sudah cukup dalam menggambarkan betapa pikiran sangat terbatas dan tidak akan mampu mengetahui Allah kecuali ditopang oleh wahyu.
Adanya kemungkinan memahami hal-hal gaib dan metafisik, sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk spiritual. Dunia materi lebih merupakan pengalaman yang menjadi satu bagian dari fase kehidupan manusia di alam semesta ini. Sehingga menjadi sangat niscaya jika manusia memikirkan hal-hal gaib, wujud yang transenden dan Allah sang pecipta alam semesta.
Wahyu tanpa akal tidak mungkin, sementara akal tanpa wahyu tidak akan menemukan titik temu yang jelas. Misalnya, Aristoteles (4 Abad SM) berpendapat bahwa asal usul dari segala sesuatu adalah berasa dari ‘penggerak yang tidak digerakkan’. Pemahaman ini memang berorientasi pada pengetahuan akan Allah, tetapi ini menjadi tak jelas dan tidak menemukan titik temu, sebab tak ditopang oleh wahyu. Dan jika hanya wahyu saja, niscaya Allah tak akan terpahami.
Lalu benarkah manusia adalah titik di mana Allah dipahami sebagai Tuhan? Pastinya tidak seperti itu, sebab ada jutaan makhluk selain manusia dan di antara semua makhluk itu ada yang mengetahui tentang wujud Allah. Manusia hanyalah ciptaan paling sempurna dan representasi dari karakteristik wujud esensial-Nya. Betapapun representasi itu amat terbatas dalam diri manusia dan betapa manusia hanya cerminan dari kemahasempurnaan wujudnya.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.