Opini

Peran NU Membumikan Islam Damai

Ahad, 10 Februari 2008 | 23:00 WIB

Oleh Irham Sya’roni

Januari merupakan bulan istimewa bagi Nahdlatul Ulama (NU), suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan Islam dan kemasyarakatan) yang berakidah Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Organisasi yang didirikan di Surabaya, Jawa Timur, pada 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H ini memperingati hari lahirnya (Harlah) yang ke-82. Satu bulan penuh bendera berwarna hijau berlambang bola dunia dengan tali jagat sebagai pengikatnya dan dikelilingi sembilan bintang menghiasi setiap jalan di negeri ini. Untuk satu bulan pula, agenda Harlah telah ditata rapi. Puncaknya, pada 3 Februari 2008.<>

Sebagai organisasi keagamaan yang berkarakter Aswaja, NU menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai mazhab keagamaan yang mengitarinya. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU bersikap toleran dan luwes terhadap nilai-nilai lokal yang telah berurat berakar.

Rahmatan lil’alamin

Zul Asyri, dalam disertasinya (1990), merumuskan dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU yang tercakup dalam nilai-nilai universal sebagai berikut:
 
Pertama, tawassuth (moderat) dan i’tidal (tegak), yaitu, sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).

Kedua, tasamuh (toleran), yaitu, sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (terutama yang bersifat furu’iyyah), kemasyarakatan, maupun kebudayaan.

Ketiga, tawazun (seimbang), yakni menyeimbangkan pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang.

Keempat, amar ma’ruf nahi munkar. NU selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Hal ini ditegaskan pula oleh Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi dalam orasinya di kampus Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, pada 2 Desember 2006. Dalam orasi untuk meraih gelar doktor honoris causa tersebut, Hasyim menyampaikan, dalam konteks global, NU menegakkan Islam rahmatan lil’alamin (penebar kasih sayang bagi seluruh alam) sebagai visinya. Konsep ini diejawantahkan dalam nilai-nilai tawassuth dan i’tidal yang diikuti langkah lanjutannya seperti tasamuh, tawazun, dan tasyawur (dialog).

Dalam mengimplementasikan nilai tawassuth dan i’tidal di tengah kehidupan masyakat, NU menerapkan tiga pendekatan:
 
Pertama, fiqhul ahkam, yaitu upaya mencari solusi hukum Islam (fikih) bagi umat ijabah (umat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam), di mana dalam NU dikenal dengan istilah bahtsul masa’il (diskusi masalah-masalah hukum agama).

Kedua, fiqhu da’wah, yaitu upaya mengembangkan Islam di tengah masyarakat luas yang majemuk dengan beragam budaya, tradisi, pola pikir, dan sebagainya. Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan bukan lagi fikih yang legal formal, melainkan guidance and counseling.

Orasi tersebut merupakan salah bukti bahwa NU benar-benar berkomitmen mengglobalisasikan rahmatan lil’alamin bersama nilai-nilai pengejawantahannya. Simpulannya, cita-cita perdamaian tidak akan mungkin terwujud apabila tidak dilandasi basis pemikiran keagamaan yang bervisi rahmatan lil’alamin, dan ini hanya bisa ditemui pada Islam damai dan moderat. Dengan basis pemikiran inilah, Islam akan tampil cantik memesona, indah menawan, dan sejuk mendamaikan.

Islam Moderat
Pascatragedi keruntuhan dua menara kembar World Trade Center (WTC) 1 September 2001, ketegangan Islam versus Barat semakin mencapai titik klimaks. Apalagi Presiden George W. Bush menyebut teroris Al-Qaidah sebagai pelakunya. Pandangan stereotipikal dan pejoratif yang disebarkan oleh media massa Barat semakin memperburuk kesan terhadap Islam. Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, fundamentalisme, anti pluralitas, diktator, ortodok dan sebagainya.
 
Saat itulah, NU bertindak aktif dengan memberikan kontribusi yang positif untuk kedamaian dan perdamaian dunia. NU segera melakukan tabayun atau klarifikasi langsung kepada tokoh-tokoh kunci dunia. Dalam perjalanan tabayun itu, NU berusaha memberi pemahaman kepada dunia tentang wajah Islam yang sejati dan meyakinkan dunia bahwa Islam adalah agama damai. Islam tidak bisa digeneralisasi dengan melihat segelintir orang atau kelompok Islam yang kebetulan radikal dan fundamentalis.

Dunia (baca: Barat) haruslah membuka mata dan obyektif, bahwa radikalisme dan fundamentalisme selalu ada dalam tubuh agama apa pun, tak terkecuali dalam Nasrani dan Yahudi. Dalam memandang Islam, Barat baru mengintip satu kamar saja yang kebetulan dihuni orang-orang Taliban atau ekstrimis-ekstrimis lain. Padahal, masih banyak kamar sejuk dan damai yang belum diintip oleh mereka.

Di saat Islamophobia meletup di tingkat global—sebagai akibat dari terorisme--, di samping melakukan tabayun pascatragedi WTC, NU juga berperan aktif mengampanyekan dan mengekspor Islam damai ke seluruh dunia melalui International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Tugasnya adalah menyosialisasikan mutiara-mutiara Islam seperti keadilan, kemanusiaan, perdamaian, dan sebagainya kepada publik dunia.

Gerak aktif ini tidak terlepas dari platform NU yang mampu mengambil jalan moderat, di mana kemoderatan NU mampu mengenalkan wajah Islam yang ’sejuk’ terhadap masyarakat internasional sekaligus menghapuskan kesan Islam yang diidentikkan Barat sebagai teroris, perusak harmoni dunia, dan sebagainya.

Dakwah yang diajarkan Islam bukan dengan jalan kekerasan, radikalisme, dan pemaksaan. Pun, Islam datang ke Indonesia pada abad XII M dengan cara-cara yang damai melalui perdagangan dan proses akulturasi dan akomodasi terhadap kultur dan tradisi lokal, sehingga nyaris tidak melahirkan ketegangan dengan penduduk lokal. Kedatangan Islam ke Indonesia ini perlu menjadi pelajaran berharga bagi seluru kelompok Islam agar gerakan dakwahnya berkarakter damai, moderat, dan menyejukkan.

Sebagai salah satu ormas Islam yang moderat, NU harus menjadi pioner dalam upaya menjunjung nilai-nilai humanisme universal dan perdamaian global. Dalam konteks ke-Indonesia-an, NU harus berani tampil di garda depan dalam meredam aksi anarkis yang merebak akibat menjamurnya aliran yang dipandang sesat.

Sekali lagi, NU berhasil membuktikan kemoderatannya ketika tampil menyelesaikan polemik "Nabi" Moshaddeq. Kekerasan bukanlah solusi, karena itu, melalui pendekatan tasyawur, Said Agil Siradj, sebagai representasi Islam ala NU, berhasil menyadarkan Moshaddeq dan mengembalikan kesejukan umat seperti semula.

Penulis adalah Staf Pengajar Pondok Pesantren Darul-Hikmah, Yogyakarta

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait