Opini

Pribumisasi Islam Kaum Tionghoa di Nusantara

Selasa, 5 Februari 2019 | 03:50 WIB

Pribumisasi Islam Kaum Tionghoa di Nusantara

Masjid Cheng Ho di Pasuruan (detikTravel)

Oleh Nuri Farikhatin

Kekhawatiran akan keberadaan kelompok minoritas Tionghoa di Indonesi masih saja muncul hingga kini. Sikap warisan kolonial yang  berlanjut pada rezim orde baru dengan politik pecah belahnya, kini digaungkan kembali oleh masyarakat dengan bentuk semangat anti-aseng. Padahal jika ditarik ke belakang secara historis hubungan masyarakat Nusantara dengan orang-orang Tionghoa terbentuk dengan penuh harmonis, baik dalam hal budaya, perdagangan, hingga dalam proses islamisasi.

Di negaranya, Cina telah mengenal Islam pada masa-masa paling awal, yakni pada abad ke-7 M. Kanton, Zhang-zhou, Quanzhou merupakan wilayah dengan permukiman muslim terbanyak. Peninggalan Islam yang menjadi bukti keberadaan Islam di wilayah tersebut adalah Masjid Kwang Tah Se dan Chee Lin Se yang merupakan dua masjid tertua di dunia setelah Masjid Nabawi yang dibangun oleh Nabi Muhammad. Dari Muslim Kanton inilah yang kemudian melakukan pengembaraan di wilayah Asia Tenggara hingga ke Nusantara.

Dalam naskah-naskah Jawa kuno juga menyebutkan bahwa Islamisasi yang terjadi di Nusantara tak lepas dari campur tangan orang-orang Cina. Meski kisah-kisahnya tak jarang diselimuti dengan mitos, namun suasanan yang digambarkan adalah suasana kosmopolitan di pelabuhan-pelabuhan pesisir yang pada akhirnya mampu meruntuhkan kekuatan agraris Majapahit di pedalaman.  Berakhirnya Kerajaan Majapahit inilah yang nantinya tergantikan dengan Kerajaan Islam pertama di Jawadengan nama Kesultanan Demak.

Menariknya, sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak itu adalah seorang Muslim Cina dengan nama Jin Bun. Beberapa versi menyebutkan asal usul Raden Patah berkaitan dengan Cina-Mongol yang bernama Cek Ko Po sedangkan versi lain mengaitkannya dengan raja Majapahit Brawijaya yang melakukan perkawinan dengan seorang Putri Cina. Pernyataan tersebut dengan sendirinya menyimpulkan bahwa Kerajaan Demak merupakan rezim Cina.

Selain Demak khusunya pada awal abad ke-15, diaspora Muslim Cina banyak tersebar di wilayah pelabuhan Gresik, Tuban, dan Surabaya, hingga awal abad ke-16, keberadaannya hampir merata di sepanjang pesisir utara Jawa. Mengapa mereka tersebar di wilayah pesisir? sebab di wilayah-wilayah tersebutklah perniagaan ramai dilakukan dan Cina dalam hal ini merupakan bangsa besar yang memiliki pengaruh dominan dalam kegiatan perdagangan di Asia Tenggara.

Beberapa tokoh Cina Islam yang memainkan peran besar dalam melakukan islamisasi adalah Laksaman Cheng Ho,  tokoh besar yang dikenal dengan pengembaraannya ke berbagai belahan dunia. Disebutkan bahwa ekspedisi bahariwan besar itu bukan sekedar bermuatan politik dan ekonomi saja, tetapi juga menyimpan hidden agenda berupa Islamisasi.

Dimungkinkan beberapa pengikutnya enggan kembali dengan beberapa alasan yang salah satunya adalah menyebarkan syi’ar Islam. Selain itu ada juga Nyo Lay Wa seorang penguasa transisi Majapahit sejak runtuhnya pada tahun 1478, Gwi-Wan, kepercayaan Sultan Hadlirin  yang menjadi peletak pertama seni ukir di Jepara. Kemudian ada Kiai Telingsing (Tan Ling Sing) seorang Cina Islam yang menjadi partner dakwah Sunan Kudus.

Di berbagai daerah juga muncul berbagai tokoh yang berkaitan dengan sejarah Islamisasi. Seperti Gang Eng Cu yang merupakan adipati Tuban, Swang Liong (Aria Damar) sang penguasa Muslim Cina di Palembang, di Cirebon sendiri terkenal dengan tokoh Tan Eng Hoat yang bergelar Maulana Ifdhil Hanafi, Tan Sam Cai, Kung Sam Pak, dan di Salatiga dengan tokohnya yang bernama Lie Beng Ing.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, Orang-orang Cina memang mempunyai peran yang cukup besar dalam proses islamisasi khusunya di Jawa. Mereka datang ke Jawa membawa ajaran Islam Hanafi yang rasionalistik selain paham rasional atau akal dalam bentuk tasawuf falsafi. Peran Cina ini juga terlihat dengan adanya Masjid Sampotoalang di semarang dan ditemukannya kuburan bernama Syaikh Abdul Qadir Al Shini di situs Trowulan—bekas ibu kota Majapahit. Kata ‘al-Shini’ menunjukkan bahwa ia seorang Muslim Cina.

Barangkali jejak-jejak tersebut mampu mengafirmasi teori kedatangan Islam di Nusantara adalah dari daratan Cina. Meski tidak sesuai dengan madzhab yang dianut namun pada suatu fase tertentu, Cina Islam ini memainkan perannya dalam Islamisasi di Asia Tenggara, termasuk di dalamnya adalah Nusantara.


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Terkait