Opini

Ramadhan dan Demokrasi (Bagian 2)

Ahad, 12 Mei 2019 | 01:00 WIB

Oleh: Asmawi Mahfudz

Kelanjutan dari hikmah puasa Ramadhan adalah menjadi pribadi yang sabar untuk menjauhi larangan-larangan Allah (munkarat). Di sekitar kita mungkin banyak meluapkan kegembiraan dengan melampauhi batasan atau larangan Allah. Misalnya setelah kita menang, dalam alam demokrasi ini melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh agama, negara, atau bertentangan dengan adat kebiasaan kita. Sabar tipe menghindari perkara yang tidak baik ini biasanya lebih berat dibanding dengan sabar menjalankan ketaatan, tetapi yang dapat mengukur adalah invidu masing-masing dan sesuai dengan konteks kehidupannya. Orang kadang bisa untuk menjalankan ketaatan secara istiqomah, tetapi belum tentu dapat menghindari larangan-larangan yang diingkari oleh agama dan kemanusiaan kita.

Maka tidak heran kadang orang rajin untuk shalat, dermawan, sudah haji, tetapi kadang menebar fitnah, hoaks, adu domba, caci maki kepada sesama, menebar aib atau kejelekan orang lain, atau bahkan karena terlanjut mendapat atribut status sosial yang tingi di masyakat (borju). Akhirnya merasa yang paling dekat dengan Allah, paling berhak untuk masuk surga, dan lain sebagainya. Untuk itu dalam suasana rutinitas demokrasi tahun ini, penting sekali kita aktualisasikan sabar dalam menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. 

Selanjutnya adalah sabar atas musibah yang menimpa kita. Musibah menurut Islam mempunyai pengertian tersendiri. Musibah itu tidak selamanya dapat diartikan sebagai tanda-tanda murka Allah atau keburukan. Demikian pula dengan nikmat, tidak selamanya sebagai pertanda mendapat ridha Allah. Tetapi, bahagia dan musibah kedua-duanya merupakan hukum Allah terhadap makhluk-Nya. Allah bermaksud menguji hamba-Nya yang beriman dengan kebaikan dan keburukan, agar dengan ujian ini Allah dapat mengetahui sampai di mana kebenaran imannya. Sebagaimana ayat Al-Qur’an "Wa basyir al-shabirin, alladhina idha ashabathum mushibat qalu inna lillahi wa inna ilayhi rajiun. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata sesungguhnya ini adalah milik allah dan sesungguhnya semuanya kembali kepada-Nya.

Menurut penulis, kandungan ayat ini adalah kegembiraan, ketidaksukaan, kekecewaan dalam kehidupan ini adalah kehendak Allah. Sebagai orang yang beriman bisakah kita menerima kekecewaan, kegembiraan sebagai perwujudan kehendak Allah. Tentu itu bukan hal yang mudah bagi kita. Sebagaimana manusia kadang kita bisa menerima kemenangan, kesenangan, kegembiraan dalam kehidupan kita, tetapi sulit untuk menerima kekecewaan, keburukan, kekalahan, menimpa kepada kita.

Maka semangat sabar pada tipe yang ketiga ini juga sesuatu yang sangat penting dalam kontestasi pemilu Indonesia tahun ini. Karena kita semua adalah orang yang beriman, meyakini keyakinan Agama masing-masing, tentunya segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan orang yang beriman harus selaras dengan apa yang diyakininya selama ini, baik kita sebagai pemenang kontestasi maupun sebagai pihak yang kalah. Atau jawaban yang lain dalam kontestasi ini adalah semua yang terjadi inilah yang terbaik untuk hamba Allah menurut Allah, bukan menurut hamba-Nya. Karena kita sebagai hamba Allah tidak mengetahui mana yang terbaik untuk diri kita sendiri. Mungkin kemenangan itu yang terbaik dan mungkin juga kekalahan itu yang terbaik.   

Tipe sabar yang lain menurut Al-Ghazali adalah sabar atas ketentuan (takdir) Allah. Sebagai sabar kelompok sebelumnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah berdasarkan ketentuan Allah Rabul Izzati. Manusia sebagai hamba diberi hak untuk berikhtiar sesuai dengan kemauannya, tetapi akhir dari semua usaha manusia tetap akan kembali kepada kuasa Allah. Kita diberi hak untuk berpartisipasi dalam alam demokrasi ini sesuai dengan perannya masing-masing. Semua dari kita berperan sebagai pemilih dalam pemilu, sebagaian sebagai calon legislatif, sebagian sebagai panitia pemilu, sebagian sebagai pengamat, sebagian sebagai peneliti, sebagian sebagai calon pemimpin dalam tingkatannya. Tetapi, seluruh kita tetap bermuara kepada keputusan Tuhan yang Maha Esa, Allah Swt. 

Dalam sebuah dawuh-nya, Kanjeng Nabi Saw bersabda "Man Lam Yardla bi Qadla’i, fa al-Yathlub Rabban Siwaya." Barang siapa tidak ridla dengan ketentuan-ketentuan Allah maka carilah Tuhan selain Allah. Artinya, keputusan atau takdir dalam ajaran agama Tauhid menempati posisi pokok dalam keimanan ajaran Tauhid. Maka sikap sabar dalam menerima keputusan Allah adalah sebuah akhlak yang mulia bagi hamba Allah di sisi-Nya.
 
Sejak awal, rutinitas lima tahunan pesta demokrasi ini sudah dirancang sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, sesuai dengan perannya. Sebagian mungkin sesuai dengan keinginan seseorang, tetapi sebagian mungkin mengecewakan. Sebagian mungkin diposisikan sebagai orang yang kalah dalam kontestasi, tetapi sebagian di posisi sebagai pemenangnya. Sebagai posisi apa pun kita, baik sebagai pemenang atau yang kalah, jika dikembalikan kepada teologi ketuhanan kita, maka sebenarnya semuanya telah berposisi sebagai hamba Allah yang dalam satu muara yaitu kehendak Allah.

Sikap kerelaan atau sabar untuk mengembalikan kepada yang berkehendak, itulah yang harus kita tanamkan dalam sikap kita sekarang ini. Dan, sikap sabar dan rela ini harus menjadi sifat bagi orang yang beriman, dengan menjadikannya dasar utama dalam melakukan perbuatannya. Implikasinya dalam demokrasi ini semuanya akan menjadi pemenang dalam kacamata teologi kita. Hasil dari pemilu kita yang sesuai dengan keinginan seseorang, itu merupakan kehendak Tuhan disebut sebagai pemenang. Juga, yang tidak sesuai dengan keinginan dan kepentingan kita disebut sebagai pemenang pula. 

Demikianlah sebenarnya teologi sabar sebagai hikmah dari Ramadhan kita dalam berdemokrasi, apalagi dalam konstitusi bangsa Indonesia, sila yang pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, kehidupan berbangsa dan bernegara kita di Bumi Nusantara ini jelas mempunyai landasan teologis yang jelas, bahwa landasan utamanya adalah berdimensi Ketuhanan (Ilahiyah). Baik dari sisi kehidupan ekonomi, politik, sosial, seni budaya, pendidikan, religius (keagamaan), olahraga, pengelolaan hutan, kelautan, pengelolaan aset bangsa, administrasi, dan lain sebagainya. Semuanya di dasari oleh teologi yang meramu antara aspek ketuhanan dan aspek kemanusiaan.

Semoga bermanfaat.     

Penulis adalah pengajar IAIN Tulungagung dan Mustasyar PCNU Blitar, Jawa Timur.



Terkait