Oleh Muhammad Ishom
Poin yang saya maksud dari ungkapan dalam judul di atas adalah “benar tidak selalu tepat”. Atau "kanan tidak selalu baik". Artinya bisa saja suatu masalah dari aspek tertentu, seperti hukum atau tradisi benar atau baik tetapi dari apsek lain, misalnya keamaman, kurang tepat. Untuk lebih memahami apa yang saya maksudkan dengan ungkapan di atas, dua cerita pengalaman saya di bawah ini mungkin membantu.
1. Berjalan di Sebelah Kanan Jalan
Pada tahun 1985, saya bertemu seorang turis asal Belanda bernama Jim Moerman di Taman Selekta Batu Malang. Ia seorang mahasiswa jurusan Psikologi di negaranya. Di Selekta kebetulan kami juga bertemu seorang pemuda asli Batu yang rumahnya di sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Pemuda itu mengajak kami berkunjung ke rumahnya dan menginap semalam. Kami setuju dan berangkatlah kami bertiga ke tempat yang dimaksud dengan mencarter angkot setelah kami merasa puas menikmati indahnya Taman Selekta di hari itu.
Keesokan harinya kami harus kembali ke kota Batu. Pemuda asal desa yang semalam menjadi tuan rumah itu tetap menemani dan mengantar kami dengan berjalan kaki bersama hingga terminal angkot. Dalam perjalanan menuju terminal ini kami berselisih pendapat dengan Jim Moerman. Jim mengajak kami berjalan di sebelah kanan jalan. Tetapi saya dan pemuda itu menolak untuk pindah ke sebelah kanan. Saya katakan pada Jim bahwa aturan atau tradisi lalu lintas di Indonesia mengatur orang dan kendaraan harus berjalan di sebelah kiri jalan.
Mendengar alasan itu, Jim mengatakan bahwa ia cukup tahu tentang aturan itu di Indonesia. Tetapi persoalannya ia berpikir tak ingin mati di atas jalan beraspal menuju kota Batu itu. “I don’t want to be killed here (Saya tak ingin mati di sini),” katanya. Saya bingung dan bertanya-tanya apa hubungan mati dengan berjalan di sebelah kiri. Cukup lama saya tak segera memahaminya. Apalagi ketika ia mengatakan, “You are right, but you are not right (Kamu benar tetapi kamu tidak tepat).”
Sayapun samakin bingung dengan kata-kata itu. Akhirnya Jim dengan sabar menjelaskan bahwa kalau kita berjalan di sebelah kiri, maka ancaman bahaya berasal dari belakang. Bahaya itu sulit kita antisipasi karena mata kita ada di depan. Kita harus menoleh ke belakang berkali-kali hanya untuk memastikan keadaan aman dari ancaman bahaya kendaraan yang mungkin akan menabrak kita. Bisa saja kita tiba-tiba tertabrak dari belakang karena pengendara ugal-ugalan, misalnya, tanpa kita sempat mencoba menghindarinya.
Sampai di situ saya mulai paham dengan apa yang dipikirkan Jim. Apalagi ketika dia menjelaskan lebih lanjut bahwa kalau kita berjalan di sebelah kanan, maka kita akan lebih aman dari ancaman pengendara dari belakang karena mereka berada di sebelah kiri jalan. Ancaman bahaya lebih mungkin datang dari depan. Tetapi karena mata kita menghadap ke depan, maka akan lebih mudah mengantispasinya. Dari situ kita bisa menghindari atau mencari tempat aman untuk menyelamatkan diri.
Singkat cerita kami akhirnya sepakat berjalan kaki di sebelah kanan jalan menuju terminal angkot Batu. Terbukti benar lebih aman dan tenang berjalan di sebelah kanan jalan selama masih ada ruang atau tempat kosong untuk menghindar dari bahaya. Sejak itu hingga sekarang saya sering berjalan di sebelah kanan terutama ketika saya meyakininya lebih aman. Jika saya tidak yakin, maka berjalan di sebelah kiri menjadi keharusan.
Intinya adalah menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa harus menjadi prioritas utama dari pada sekedar tertib mematuhi aturan yang sebenarnya bisa fleksibel. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Dar’ul mafasid muqaddamun ala jablil mashalih (Upaya menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada upaya mendapatkan kemaslahatan).
2. Berjalan di Sebelah Kiri Istri
Metode berpikir dengan mengutamakan upaya menghindari mafasid (kerusakan) seperti pengalaman di kota Batu Malang di atas kemudian cukup berpengaruh dalam hidup saya terlebih ketika saya sudah menikah. Misalnya, ketika saya berjalan bareng bersama sang bojo (istri), saya tidak selalu berjalan di sebelah kanannya sebagaimana etika orang Jawa karena hal itu, menurut saya, bergantung pada arah dari mana acaman bahaya atau gangguan kepada istri saya datang. Jika kemungkinannya dari sebelah kiri, maka saya akan menempatkan diri di sebelah kirinya. Jika kemungkinannya dari kanan, saya akan berada di sebelah kanannya.
Tetapi jika situasi kiri kanan aman, maka biasanya saya memilih berada di sebelah kiri karena pada dasarnya saya lebih suka menyentuh istri saya, seperti merangkul pundak atau menggandeng tangannya, dengan tangan kanan saya dan bukan dengan tangan kiri. Bukankah Islam mengajarkan agar kita lebih banyak menggunakan tangan kanan dari pada tangan kiri untuk melakukan hal-hal yang baik? Bagaimanapun, menurut saya, menyentuh perempuan dengan tangan kanan lebih afdhol karena surga saja berada dibawah telapak kaki mereka.
Dua pengalaman sebagaimana saya uraikan di atas membuktikan ada benarnya ungkapan "Right is not always right". Ungkapan ini mungkin kurang populer di Barat karena merupakan kalimat yang saya susun sendiri terinspirasi dari apa yang dikatakan Jim Moerman 33 tahun lalu, “You are right, but you are not right.” Namun demikian ungkapan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Albert Einstein, “What is right is not always popular and what is popular is not always right (Apa yang benar tidak selalu populer dan apa yang populer tidak selalu benar).” Mungkin orang Jawa mengatakannya, “Bener ananging ora pener.”
Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta