Oleh Zastrouw Al-Ngatawi
Perkembangan teknologi informasi yang mampu menembus sekat geografis ternyata tidak membuat masyarakat menjadi terbuka. Keterbukaan informasi justru menimbulkan anomali dalam bentuk segregasi sosial. Ada gejala menguatnya 'tembok’ agama dan etnis yang menjadi benteng pemisah antar-kelompok.
Fenomena ini terlihat dalam beberapa hasil penelitian dan hasil pilkada. Survei LIPI menunjukkan 13 persen responden menyatakan sangat setuju dan 44,9 persen setuju memilih presiden seagama. Ini artinya 57.9 persen responden menggunkan preferensi agama dalam menentukan pilihan presiden.
Data LIPI ini memperkuat hasil penelitian Wahid Foundation dan LSI yang menunjukkan 59.9 persen responden menyatakan membenci kelompok lain berdasar agama, etnis dan ideologi yaitu non-Muslim, Tionghoa dan Komunis. 92.2 persen dari kelompok pebenci ini tidak mau menerima pemimpin dari kelompok yang dibenci. 82.4 persen tak mau bertetangga dengan mereka.
Hasil pemilu Sumut juga mengkonfirmasi terjadinya segregasi sosial ini. Data ISERS menununjukkan etnis Batak-Kristen cenderung memilih Djarot-Sihar sedangkan etnis Melayu-Islam cenderung memilih Edy-Musa.
Munculnya fenomena segregasi berdasar etnis dan agama ini perlu mendapat perhatian serius, karena akan berdampak buruk pada kehidupan berbangsa dan benegara. Keberagaman yang menjadi realitas dan karakter bangsa ini akan teramcan dan bisa menjadi pemicu kehancuran bangunan bangsa dan negara. Di sisi lain, hal ini juga bisa menghambat terciptanya sistem politik yang sehat dan demokratis
Segregasi sosial berbasis agama mencerminkan adanya pendangkalan dan penyempitan pemahaman keagamaan. Di sini agama lebih dipahami sebagai simbol dan identitas politik daripada nilai-nilai dan spirit religiusitas. Akibatnya agama hanya menjadi sekat yang memisahkan dan menjadi alat untuk menyingkirkan kelompok lain yang berbeda.
Sikap keagamaan yang seperti ini tidak akan bisa menciptakan kemaslahatan, apapun sistem politik yang diterapkan. Ini terjadi karena preferensi agama hanya akan melahirkan politisi busuk bertopeng agama. Mereka tidak perlu kerja keras membangun prestasi baik karena semua tidak akan dilihat dan diperhitungkan sehingga menjadi tidak berguna. Para politisi cukup mengeksploitasi simbol agama dengan berbagai pencitraan karena itulah cara paling mudah untuk memperoleh dukungan massa.
Apa yang terjadi mununjukkan bahwa simbolisme dan formalisme agama telah membuat manusia kehilangan akal sehat. Sebaik apapun prestasi seseorang tidak pernah dilihat dan diperhatikan jika dianggap tidak seiman, sebaliknya sejahat dan sebejat apapun pemimpin asal seagama akan tetap dibela dan dipertahankan. Bahkan mereka tidak segan-segan menutup kejahatan sang pemimpin yang seiman.
Sikap seperti ini sebenarnya merupakan bentuk penistaan dan pendistorsian agama yang nyata. Karena tak ada agama, khususnya Islam, yang mentolelir kejahatan seorang pemimpin. Sikap ini juga bisa merusak profesionalisme. Padahal Islam tak pernah mengingkari profesionalisme atas nama agama.
Bahkan Islam menyuruh agar menyerahkan segala urusan pada ahlinya. Karena jika tidak akan menunggu saat kehancurannya. Sebagaimana diaebutkan dalam Hadits Nabi SAW diriwayatkan Imam Bukhari: idza wusidal amru ila ghairi ahlihi fantadziri sa’ah (jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka tungglah saat kehancurannya)
Jelas di sini terlihat, segregasi sosial berdasar agama tidak hanya mengancam integrasi bangsa tapi juga eksistensi agama. Karena agama bisa mudah diselewengkan oleh para pemimpin bejat dan politisi busuk jika hanya dipahami secara simbolik dengan ritual kosong.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta