Oleh Fathoni Ahmad
Malam itu sekitar tahun 1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku ayahnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang melakukan gerakan amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.
Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, pada momen khidmat tersebut ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh bangsa dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri.
Sepenggal kisah tersebut diungkapkan dalam buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017). Buku kumpulan tulisan yang berisi testimoni, pandangan, dan kisah-kisah menarik dari sejumlah sahabat dekat Gus Dur tersebut menggambarkan prinsip keagamaan dan kebangsaan yang sangat mendalam dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan. Gus Dur seorang humanis, diterima oleh siapa pun dan dari golongan mana pun. Sehingga sahabat karib Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah berujar, “Kenapa Gus Dur dicintai semua orang? Karena Gus Dur mencintai mereka semua.”
Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur dan menjadi teladan mendalam bagi anak-anaknya, termasuk Yenny Wahid. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.
Peran dan pergaulannya yang luas membuat setiap orang mempunyai kesan mendalam terhadap Gus Dur. Bahkan, kasih sayangnya yang tercurah kepada semua manusia membuatnya terus dikenang oleh setiap elemen bangsa ketika dirinya telah tiada. Bahkan, Soka University Tokyo milik Soka Gakkai yang didirikan Daisaku Ikeda hingga saat ini masih menjadikan Gus Dur sebagai ikon penggerak kebudayaan modern.
Level kebangsaan Gus Dur tidak lagi lokal, tetapi telah mendunia. Bahkan buah pemikiran Gus Dur dijadikan konsen jurusan tersendiri di Universitas Pennsylvania, salah satu kampus terkemuka di Amerika Serikat. Jejak-jejak keagamaan, kemanusiaan, dan kebangsaan inilah yang berupaya kuat diteruskan oleh Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid, dan Inayah Wahid, keempat putri Gus Dur.
Hingga pada akhirnya, walaupun bukan yang terakhir atas sebuah perjuangan, Yenny Wahid dianugerahi sebagai Tokoh Perubahan 2018 oleh Republika pada Rabu (24/4/2019) malam di Jakarta Theatre. Moderasi keagamaan, nilai-nilai kemanusiaan, dan menebarkan toleransi merupakan salah satu perjuangan Yenny Wahid yang diwujudkan melalui program Desa Damai (Peace Village). Bahkan, program yang saat ini telah berhasil diwujudkan di 30 desa tidak hanya menyerap prinsip-prinsip perdamaian, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan melalui pemberdayaan ekonomi.
Program yang menyedot perhatian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini telah digulirkan sejak 2012. Desa Damai memiliki empat pilar. Pertama, pilar penguatan ekonomi dalam arti memberi akses permodalan dan pelatihan ekonomi kreatif. Kedua, pilar penguatan peran perempuan. Ketiga, pilar penguatan aparatur daerah dan desa. Keempat, penguatan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat.
Sebelumnya, adanya keinginan untuk menjembatani perbedaan di Indonesia telah mendorong Yenny Wahid mendirikan The Wahid Institute, yang sekarang berubah nama menjadi Wahid Foundation pada 2014. Yayasan ini pada awalnya menggelar berbagai diskusi mengenai keberagaman dengan mengundang cendekiawan, peneliti, tokoh bangsa, aktivis, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain.
Namun, Yenny Wahid tidak mau kampanye damai hanya berhenti dalam tataran diskusi sehingga desa damai merupakan salah satu wujud gerakan nyata di tengah masyarakat dalam membangun kebersamaan berdasarkan kearifan lokal dan nilai-nilai Pancasila.
Dalam pandangan Yenny, Pancasila menjadi dasar toleransi dan sikap moderasi keagamaan yang merupakan kekhasan dan kearifan bangsa ini. Terlahir dari kemajemukan bangsa, masyarakat di Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan sehingga dapat mewujudkan pembangunan. Persatuan menjadi kunci untuk mewujudkan kondisi bangsa yang damai, berpikiran maju, mendukung investasi, dan pembangunan.
Idealisa Masyrafina dalam Ajarkan Toleransi Melalui Desa Damai (2019) yang dirilis Republika mencatat bahwa Program Desa Damai memberikan akses permodalan dan ekonomi kepada ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya dan agama di desa-desa. Perbedaan latar belakang tersebut memungkinkan mereka berinteraksi secara harmonis. Dari komunikasi tersebut, pemahaman kebangsaan dan saling menghormati akan terwujud sehingga tercipta kerukunan, keguyuban, dan kerja sama.
Yenny bersama Wahid Foundation mencoba membangun masyarakat yang toleran dan terbuka melalui program tersebut. Semula ada masyarakat hanya bergaul dengan yang seagama. Jarang sekali bergaul dengan pihak lain. Yenny kemudian berupaya mempertemukan masyarakat dengan komunitas berbeda. Ibu-ibu pengajian dipertemukan dengan komunitas gereja juga dengan kelompok agama lain.
Interaksi budaya dan antarumat beragama tersebut berbuah, bukan hanya perdamaian dan keharmonisan yang tercipta, tetapi juga produktivitas karya dalam bidang ekonomi. Desa Damai yang dicetuskan Yenny Wahid memunculkan produk khas daerah bernilai jual. Tidak berhenti di level produktivitas, Wahid Foundation juga melakukan edukasi terkait pengepakan (packaging) dan pemasaran (marketing).
Kesuksesan menebarkan perdamaian ini membawa badan PBB untuk pemberdayaan perempuan, UN Women berinisiatif mengajak Wahid Foundation bekerja sama pada 2015 lalu. Inspirasi Desa Damai meluas hingga ke markas PBB. Pada 2018 Yenny Wahid diundang ke PBB untuk mengenalkan Desa Damai dan program-programnya. Sebab PBB memandang, program tersebut merupakan salah satu gerakan nyata yang menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam mendorong perdamaian, toleransi, dan pemberdayaan perempuan. Selamat!
Penulis adalah Redaktur NU Online