Opini

Zakat Sebagai Pelepas Kemiskinan

Kamis, 17 September 2009 | 00:15 WIB

Oleh Taufiqurrahman SN*
 
Tak terasa tinggal hitungan jari lagi kita akan berpisah dengan ‘tamu agung’ yang selama hampir tiga puluh hari kita berkutat dengannya, tak lain adalah bulan suci Ramadhan.  Kepergian ‘tamu agung’ telah mengantarkan kita kepada pendidikan ritual ibadah. Diantara pesan dari pendidikan ritual ibadah sebagai upaya menggugah solidaritas sosial kita, dalam konteks ini terkait dengan pelaksanaan zakat.

Zakat jika ditilik dari kata dasarnya berasal dari ”zaka” yang mempunyai arti berkah, tumbuh, bersih, baik dan bertambah. Bagi orang yang mengeluarkan zakat, hati dan jiwanya akan menjadi bersih. Sebagaimana firman Allah SWT, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensunyucikan mereka,”(QS.2:103).<>

Selain hati dan jiwanya bersih, kekayan dan hartanya akan bersih pula.. Dalam Al-Qur’an sendiri kata zakat pada umumnya di rangkaikan dengan kata shalat dalam satu ayat. Ada 26 kata zakat yang selalu dihubungkan dengan shalat. Hal ini menunjukkan betapa penting peran zakat dalam kehidupan manusia.

Dalam momentum ini, sebetulnya kita dihadapkan dengan saat-saat yang paling relevan untuk sadar diri dalam menggugah rasa solidaritas terhadap sesame manusia yang membutuhkan. Dalam upaya pengentasan kemiskinan dan keterpurukan sosial yang selama ini melanda negeri kita. Sebagi salah satu upaya pengentasan kemiskinan zakat mempunya aktor penting sebagai salah satu diantaran konsep meringankan beban orang miskin yang selalu hidup dalam penderitaan dan pengekangan.

Dari tahun ke tahun, dunia perzakatan Indonesia terus mengalami peningkatan, terutama dari sisi penghimpunan dana. Pada tahun 2002, data nasional pengumpulan zakat yang ada pada BAZNAS, menunjukkan angka Rp. 68,4 Miliar. Pada tahun 2008, angka ini naik menjadi Rp. 930 Miliar atau naik sekitar 1.260 persen  dalam kurun waktu enam tahun. Ditargetkan pada tahun 2009 ini, angka tesebut bisa mencapai Rp 1 hingga Rp1,2 Triliaun. Hal ini merupakan jumlah yang membanggakan dalam kurun waktu yang sangat singkat.

Kemiskinan

Zakat tidak hanya sebatas ritual keagamaan yang apabila dilakukan kewajibannya sudah gugur. Tatapi, zakat juga merupakan ritual sosial yang tidak hanya berhenti setelah selesai dilakukan. Zakat sebagai ritual sosial sangat jelas ketika harta zakat tersebut dibagikan kepada fakir, miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.

Zakat tidaklah sekedar digunakan untuk meenuhi kebutuhan sesaat orang-orang miskin dan yang membutuhkan, tetapi mempunyai fungsi-fungsi lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan kehidupan masyarakat. Harta zakat yang sudah terkumpul tersebut, setidaknya dialokasikan untuk memberdayakan kemiskinan di Indonesia. Dalam ihwal pelepasan kemiskinan. Masyarakat miskin kemudian tidak hanya diberikan uang atau beras saja, tetapi dibuatkan lapangan pekerjaan yang mampu menampung mereka untuk bekerja.

DataBadan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan angka kemiskinan yang baru. Penduduk miskin pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 210 juta penduduk. Penduduk miskin bertambah empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005.

Selain itu juga terdapat sebanyak 10 juta orang pengangguran di negara ini. Penganguran merupakan masalah tahunan yang menghindapi wajah negeri ini. Setiap tahunnya pengangguran semakin melonjak akibat kurangnya penanganan secara maksimal. Data badan pusat stastik menyebutkan jumlah pengangguran pada Febuari 2008 sebanyak 9,43 juta orang dari total angkatan kerja. Kemudian data ini diprediksikan oleh LIPI bahwa pada 2008 angka tersebut akan melonjak sekitar 9% dari jumlah angka sebelumnya.

Kemiskinanlah yang menjadi faktor predisposisi timbulnya proses dehumanisasi dan sejumlah kejahatan kemanusiaan lainnya, sebagaimana dipaparkan oleh Thomas Hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Tentunya Hobbes tidak begitu saja berseloroh dengan teorinya ini, tetapi pada realitasnya, sebab manusia relative akan lepas dari frame kemanusiaannya ketika bersentuhan dengan masalah ‘menyambung hidup’ (ekonomi).
 
Masa Khalifah

Di masa Khalifah Abu Bakar RA, zakat bahkan dianggap menjadi pajak, sehingga setiap masyarakat diharuskan, baik secara syariah maupun oleh aturan Negara. Karena begitu pentingnya  membayar pajak tepat waktu dan jika orang-orang  tidak membayar pajak maka mereka akan diperangi secara militer. Begitu pentingnya masalah zakat ini bagi kelangsungan umat, sehingga menuntut pengelolaan secara professional oleh sebuah institusi yang dijalankan berdasarkan prinsip dasar kemaslahatan ummat. Mewujudkan keadilan secara distributive akan memberikan kesempatan yang sama untuk dapat hidup dalam kebercukupan.

Dalam konteks saat ini, mungkin bijaksana memikirkan prospek pembangunan ummat berbasis zakat, sebagai sebuah mekanisme pemberantasan kemiskinan. Prospek yang dimaksud adalah bagaimana mewujudkan kemandirian umat, baik secara ekonomis maupun sosial, melalui mekanisme zakat, dengan kompleksitas masalah yang melingkupinya.

Pengelolaan yang kurang prefesional akan berdampak buruk badi masyarakat. Seperti tragedi kemanusiaan di Kota Pasuruan. Peristiwa tersebut secara tidak langsung menggambarkan potret kesulitan ekonomi masyarakat indonesia secara keseluruhan. Bagaimana tidak, demi uang zakat yang besarnya hanya Rp 30 ribu, sebanyak 21 nyawa melayang dan 10 korban lainnya mengalami luka-luka dan kini menjalani perawatan di RSUD Dr Soedharsono Purud, Kota Pasuruan.

Pada akhirnya, zakat harus dipahami bukan semata-mata sebagai kewajiban transendensial saja, tetapi merupakan manifestasi relasi horizontal antar umat, sebagai wujud ketakwaan dalam pengertian universalnya, mewujudkan keadilan dan menjadi “rahmat” bagi seluruh kehidupan. Sudah saatnya kuantitas zakat yang 2,5 % per jiwa saat ini ditinjau kembali dalam upaya peningkatan kapasitas regulasi modal ummat dan sarana untuk pelepasan kemiskinan.
 
*Penulis adalah pengamat sosial-politik pada Lembaga Kajian Hasyim Asy`ari Institute, Yogyakarta


Terkait