Bak rintik hujan di musim kering, begitulah gambaran kehadiran Madrasah Nigeiyah Ibadurrohman di Kampung Malakabu, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Madrasah diniyah ini berdiri saat penduduk muslim setempat merindukan lembaga pendidikan agama bagi anak-anak yang belum pernah ada sejak kampung itu ada.
<>
Madrasah Nigeiyah Ibadurrohman didirikan para aktivis NU tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015. Tak hanya dituntut mampu merangkul masyarakat adat setempat, mereka juga harus melewati tantangan sarana transportasi yang serba sulit karena letak kampung di pedalaman. Belum lagi fasilitas dan keterbatasan dana yang mereka miliki.
Koordinator aktivis NU di Papua Abdul Wahab mengatakan, madrasah tersebut dibangun dengan tujuan melayani warga untuk bisa belajar dan berkembang untuk meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya. Madarasah itu juga menjadi jalan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.
Gayung bersambut. Upaya mendirikan madrasah mendapat dukungan penuh dari tokoh dan warga lokal. Mereka yang memang sejak lama merindukan kehadiran lembaga pendidikan agama membuka diri seluas-luasnya dan berbondong-bondong mendorong putra-putrinya belajar di madrasah baru itu. Bahkan, kepala kampung dan pemuka agama setempat hadir dalam acara peresmian madrasah.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada para aktivis NU pun memulai pendidikan diniyah di masjid kampung yang masih terbuat dari papan kayu. Di dalam masjid sederhana ini anak-anak pedalaman Papua belajar mengaji al-Qur’an, fiqih, tauhid, dan lainnya.
Mengakomodasi Lokalitas
Sejak awal madrasah ini sengaja diberi nama “Nigeiyah Ibadrurrohman”. Nigeiyah yang berarti cahaya diperoleh dari tokoh setempat di Suku Kokoda. Sedangkan "Ibadurrohman" diberikan Gus Munawir Bogor. Nigeiyah Ibadurrohman kira-kira memiliki arti cahaya hamba-hamba Dzat Yang Maha Pengasih. Pengambilan nama Nigeiyah merupakan usaha untuk mendekatkan madrasah dengan masyarakat sekitar.
Sebagai awal Madrasah Nigeiyah Ibadrurrohman memiliki kurang lebih 30 santri dan dua tenaga pendidik yang merupakan aktivis kiriman dua komunitas NU, Persaudaraan Profesional Muslim Aswaja dan Sarkub. Saat ini mereka juga tengah berusaha melibatkan warga lokal sebagai pengajar. Dengan demikian madrasah diniyah itu akan menjadi milik kampung.
Kurikulum ngaji rencananya juga diterapkan secara bertahap, fleksibel dan akomodatif. Kitab dan proses pembelajaran mengacu pada pendidikan di Pesantren, dengan menyesuaikan pola pikir dan budaya peserta didik secara perlahan. Materi-materi dasar Islam tetap menjadi prioritas ilmu yang diajarkan.
Kepala Kampung Malakabu Sudin Simurut memberi penghargaan yang tinggi atas kehadiran madrasah diniyah itu. Ungkapan syukur dan terima kasih mengalir deras dari mulutnya. Madrasah Nigeiyah Ibadurrohman menjadi jawaban atas masalah pendidikan agama di kampungnya yang lama tak terpenuhi.
“Kami punya anak ditinggal begitu saja, tidak tahu mengaji, tidak tahu ilmu shalat, maka kami sangat berterima kasih dengan dibukanya madrasah ini," ucapnya saat acara peresmian, sembari mengimbau puluhan anak yang hadir dapat membagi waktu dengan baik antara jadwal sekolah dan mengaji.
Sementara Abdul Ghani Tagate, tokoh agama setempat, menceritakan bagaimana sulitnya dirinya sekolah dan mengaji pada masa lalu. Untuk bisa mengaji, ia harus berjalan kaki dengan jarak cukup jauh. Kehadiran Madrasah Nigeiyah Ibadrurrohman melipat jarak itu menjadi sesuatu yang kini ada bersebelahan dengan rumah penduduk.
"Oleh karena itu, saya berharap agar kalian (anak-anak) memanfaatkan betul madrasah ini. Kalian (anak-anak) tak perlu menempuh jalan kaki yang jauh terlebih dahulu untuk bisa mengaji seperti saya. Saya berharap kalian bisa lebih pintar dari saya," tutur pria yang pernah menjuarai MTQ se-Kabupaten Sorong itu.
Madrasah diharapkan lebih hidup dan ramai santri sebagaimana kemeriahan yang tergambar pada acara pembukaan pertama. Saat itu sekitar 40 anak antusias datang ke masjid, mendengarkan kasidah dan shalawat yang didendangkan grup hadrah dari para aktivis NU, serta menyerap motivasi untuk tak henti mencari ilmu. Mereka juga bersama-sama menyayikan lagu Indonesia Raya dengan khusuk di ujung acara.
Hingga saat ini, madrasah digerakkan secara swadaya dengan semangat gotong-royong. Sumber dana diperoleh dari usaha sendiri dan sumbangan para donatur. Dengan berbagai minimnya fasilitas sebagai lembaga pendidikan rintisan, Madrasah Nigeiyah Ibadurrohman terus dipupuk agar berkembang subur. Sesuai dengan namanya, Madrasah Nigeiyah Ibadurrohman diharapkan menjadi penerang bagi warga sekitar. Cahaya yang membuat mereka hidup dalam ketercerahan dan saling kasih sayang. (Mahbib)