Pada akhir 1945, seorang ibu muda bernama Salma Saghimah tengah hamil muda anak ketiga, buah pernikahannya dengan Hasan Basri, seorang tukang sol sepatu di sekitar Kawatan, Surabaya.
Hasan Basri sebelumnya turut serta sekali dua berjuang melawan Sekutu. Namun, sebagaimana penduduk lain, turut mengungsi dan kadang terpisah dengan anak dan istrinya. Pria keturunan Sampang, Madura, itu bukan tak berani terus berjuang. Sebagai warga NU, ia tahu berjuang melawan Belanda yang ingin kembali bernilai jihad sebagaimana diputuskan para kiai pada 22 Oktober 1945.
Sementara sang istri, Salma, lebih dahulu turut mengungsi dengan tetangganya dari satu tempat ke tempat lain. Sampai sekitar Juni 1946, perempuan keturunan Melayu itu berada di Kediri, ia melahirkan seorang anak yang kemudian diberi nama Mansyur. Di belakang namanya kemudian disertakan nama ayahnya, Hasan Basri, tapi dalam bentuk singkatan HB. Jadi, Mansyur HB. Anak yang kelak dikenal sebagai seniman foto dan lukis.
“Ibu saya yang sedang hamil mengungsi turun naik truk,” ungkap Mansyur HB, anak yang dikandung dan dilahirkan ibunya saat di pengungsian itu, saat ditemui NU Online di kediamannya, Ciledug, Tangerang, Kamis malam (20/3/2025).
Baca Juga
Belajar dari Kiai Pelukis Lambang NU
Dalam pengungsian pada masa itu, menurutnya, selamat saja sudah beruntung. Hal-hal lain seperti makanan bergizi bagi seorang ibu hamil agar janinnya sehat tidak terpikirkan. Justru yang prioritas utama adalah keselamatan nyawa dan itu harus dilakukan dengan pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Tak heran, katanya, ia lahir dengan sedikit tidak biasa. Sembari menunjukkan jari-jari tangan kirinya dan betis kaki kirinya, ia menyebut itu dampak kehamilan ibunya dalam masa revolusi fisik.
Namun, ia tetap bersyukur memiliki jari-jari tangan kanan yang sempurna sehingga ia pada usia 79 tahun masih bisa mengetik di ponsel untuk bermain Instagram dan sedari muda memegang kamera dan koas.
“Ibu saya yang berjasa membuat saya bisa melukis,” katanya. “Itu bukan berarti ibu saya yang mengajari melukis,” bantahnya. “Tapi karena ibulah yang melahirkan dan saya bisa melukis,” tambahnya sambil membuka sebuah katalog sebuah pameran lukisannya 7 tahun lalu. Sementara tangan kanannya menunjuk pada satu lukisan seorang perempuan berkebaya dengan rambut digelung tanpa kerudung.
Mengaji kepada Pencipta Lambang NU
Beberapa tahun kemudian, setelah keadaan kembali tenang, Agresi Militer Belanda kesatu dan kedua terlampaui, Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, keluarga Mansyur HB kembali berkumpul di tempat tinggal semula, di Kawatan. Hasan Basri menjalankan profesi semula sebagai tukang sol sepatu dan Salma menjadi ibu rumah tangga dan mengasuh anak-anak.
Baca Juga
Ketika Para Pelukis Kunjungi PBNU
Namun, menurut Mansyur, ayahnya memiliki nilai lebih saat memperbaiki sepatu orang. Selain memperbaiki kerusakan dia akan menambah ornamen lain yang sebetulnya tidak dipesan pemiliknya.
“Jadi, bapak saya seorang seniman,” katanya diiringi tawa berderai.
Mansyur HB menjalani masa kecilnya dengan belajar mengaji kepada orang tua. Kemudian pada masa remaja sempat berguru kepada KH Ridwan Abdullah, seorang pendiri NU, seorang kiai yang mendapat kepercayaan dari KH Wahab Chasbullah untuk menciptakan lambang NU.
Ia mengaji kepada Kiai Ridwan bersama anak-anak lain, salah seorang di antaranya bernama Syukron, salah seorang cucu sang guru. Ia dan Syukron memiliki kegemaran yang sama, yaitu melukis.
Berguru kepada Pelukis M Sochieb
Kegemarannya itu mendapatkan tempat setelah mengetahui ada seorang pelukis senior di Kawatan juga, M Sochieb. Ia seorang pelukis naturalis kelahiran Surabaya pada 1931.
Pada saat pecah perang di Surabaya tahun 1945, dirinya masih tergolong remaja. Usianya baru 14 tahun. M Sochieb merupakan salah seorang pelaku sejarah dalam peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya pada 1945. Tak heran karya-karya lukisannya identik dengan peristiwa itu.
Menurut, Nanang Purwono, corak lukisannya sangat naturalis sehingga dirinya mampu memvisualkan kisah-kisah pertempuran Surabaya. Karya lukisnya terkumpul dalam Peristiwa 10 November 1945 dalam Lukisan.
Mansyur HB belajar melukis Sochieb sampai sempat menjadi asistennya. Ia terpengaruh gaya melukis gurunya yang beraliran naturalis. Lukisan-lukisannya bisa dinikimati melalui akun Instagram pribadinya, @mmansyurhb.
Ideologi seni pada akhir Orde Lama
Benturan ideologi dalam kebudayaan dan seni terjadi pada akhir era Sukarno. Hal ini menggambarkan perang representasi dunia: antara seni sebagai alat perubahan sosial (versi Lekra) dan seni sebagai ekspresi individual yang otonom (versi Manikebu). Keduanya mencerminkan konflik yang lebih besar: antara komunisme revolusioner dan nasionalisme plural.
Dalam situasi seperti itu, keberadaan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi NU) berada di persimpangan strategis antara perlawanan terhadap dominasi kebudayaan kiri (Lekra/PKI) dan upaya membangun narasi kebudayaan Islam yang independen.
Lesbumi bukan sekadar lembaga kultural, tapi juga representasi dari politik kultural Nahdlatul Ulama (NU) dalam menghadapi hegemoni ideologi komunisme budaya pada masa Demokrasi Terpimpin. Perannya sering kali dilupakan dalam narasi arus utama.
Berdasarkan Arsip Nasional tentang Susunan Pengurus Lesbumi berdasarkan Surat Keputusan PB Partai NU No. 1614/Tanf/VII-62, tanggal 1 Shofar 1382 H/3 Djuli 1962 yang dikutip dari buku LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan karya Choirotun Chisaan, tak ada kepengurusan divisi seni rupa yang mewadahi para pelukis NU.
Hal demikian, diungkapkan juga oleh Ketua Lesbumi saat ini, KH Muhammad Jadul Maula. Pada saat itu, hampir tak diketahui adanya pelukis Lesbumi. Keberadaan Mansyur HB adalah kenyataan yang menarik.
Memang, Mansyur HB juga mengakui bahkan tidak mendengar sama sekali tentang adanya Lesbumi. Justru yang di dengar adalah seniman NU. Padahal di sekitar Kawatan ada beberapa pelukis yang merupakan warga NU.
Turut serta dalam pameran lukisan KIAA
Sebagaimana diketahui, pada 1955, Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada 1965, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) yang juga diselenggarakan di Bandung.
KIAA sebagai bagian dari politik luar negeri bebas aktif, yang menekankan peran Indonesia sebagai pemimpin di antara negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. KIAA adalah salah satu manifestasi dari politik ini. Melalui KIAA, Sukarno ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dan politik yang mampu menyatukan umat Islam di Asia-Afrika, serta menentang neokolonialisme dan imperialisme.
Sukarno berusaha mengukuhkan citranya sebagai pemimpin dunia yang disegani, tidak hanya di kalangan Gerakan Non-Blok tetapi juga di dunia Islam.
NU, sebagai bagian dari konsep "Nasakom" (nasionalis, agama, komunis) berperan dalam penyelenggaraan KIAA tersebut. Ketua Umum PBNU saat itu, KH Idham Chalid, menurut Andri Nurjaman dan Asep Sulaeman pada penelitian berjudul “Peran KH Idham Chalid dalam Konferensi Islam Asia Afrika di Kota Bandung Tahun 1965” menjadi ketua panitianya (Jurnal Historia Madania Volume 4, 2022).
Di sela penyelenggaraan KIAA tersebut, ada semacam pameran seni rupa Islam. Sebagai ketua umum NU yang memiliki lembaga seni budaya, KH Idham Chalid meminta lembaga tersebut untuk menyelenggarakan pameran lukisan.
Mansyur HB mendengar informasi tersebut dari rekannya, Hayat, seorang pelukis di Surabaya. Mansyur diajak untuk turut serta dalam pameran tersebut. Ia masih menyimpan tiga foto saat 12 pelukis NU yang turut serta dalam pameran itu. “Kita ini orang-orang NU. Orang-orang NU harus bantu NU,” kata Hayat saat itu yang diamini Mansyur dan pelukis lain.
Setelah turut serta dalam pemeran tersebut, menurut Mansyur, NU mengadakan pameran lukisan keliling di kota-kota di Jawa Timur. Selain di Surabaya, berlangsung di Malang, dan terbesar Tulung Agung.
Menurut dia, para kiai NU pada saat itu memang tidak ada yang melarang pameran lukisan, tapi hampir tak ada juga yang mendukungnya.
Sempat jadi fotografer majalah Selecta
Pada masa tahun 1970-an, Mansyur HB tinggal di Jakarta dan sempat meninggalkan kegemarannya dalam melukis. Ia beralih profesi dengan menjadi fotografer majalah Selecta.
Berdasarkan Arsip Nasional Republik Indonesia, Selecta diterbitkan oleh Penerbit Analisa yang beralamat di Jalan Kebon Kacang IX/22 Jakarta. Surat izin terbit majalah ini dikeluarkan oleh Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya No. 51/166/PPDSIDR/X/58.
Majalah popular ini diawaki oleh Sjamsudin Lubis sebagai pemimpin redaksi, sedangkan untuk anggota redaksi terdapat Ermawi, M.Z. Pranadjaja, dan K.S. Chaniago.
ANRI yang diunggah melalui akun Facebook-nya menambahkan keterangan, Selecta termasuk majalah hiburan, memuat cerita pendek, cerita bersambung, review film, ruang perempuan, resensi buku, pojok iseng, profil bintang dan seniman, olahraga, dan teka-teki silang, termasuk berita seputar selebriti.
“Eva Arnaz, bintang film saat itu, pernah saya potret,” kata Mansyur, “saya sangat dekat dengan pemimpin redaksinya Pak Sjamsudin Lubis. Sering diajak ke luar negeri, ke Singapura, Malaysia,” tambahnya.
Masih berdasarkan akun ANRI, pada tahun 1982, Selecta berubah menjadi majalah berita. Namun pada tahun 1986 majalah tersebut berhenti terbit imbas dari pemberitaannya mengenai asal-usul Presiden Soeharto.
Mansyur kemudian menekuni kembali kegemarannya yang bertahun-tahun ditinggalkannya, yaitu melukis kembali. Sebagaimana sebelumnya, ia masih tetap di jalan naturalis.
Melukis sampai tua
Mansyur HB bisa dikatakan sebagai pelukis tiga zaman. Ia memulai kariernya pada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Saat ini di usianya menjelang kepala delapan, ia masih tetap menyempatkan diri menggoreskan kuasnya di atas kanvas, di galeri sekaligus tempat tinggalnya di Ciledug.
Salah satu ketertarikan Mansyur adalah pada laut. Hal itu tampak pada pameran tunggalnya yang bertajuk “Citra Bahari dalam Goresan Warna” pada 2017. Pameran sebagai peringatan hari ulang tahunnya yang ke-70 tersebut, Mansyur memamerkan karyanya sejak 1980 sampai 2017.
Sebanyak 40 lukisan yang dipamerkan, sekitar 65 persennya bertema tentang laut, terutama kehidupan para nelayan, di samping beberapa tema tentang kehidupan masyarakat Indonesia.
Pengamat budaya dan seni, Agus Dermawan, memberi pengantar pameran tunggal tersebut dengan judul “Justru di Laut Mansyur Berjaya”.
“Indonesia adalah salah satu negeri maritim terbesar di dunia. Namun, seni rupa Indonesia, justru melupakan jagat laut sebagai tema. Untung ada Mansyur H. B.,” ungkapnya mengawali pengantar tersebut.
Menurut Agus, dalam beberapa kompetisi seni rupa Indonesia, tema laut selalu terabaikan pelukis. Ia mengambil contoh pada Indofood Art Award yang digelar 2003. Kegiatan tersebut diikuti 1249 pelukis yang mengirimkan 2008 lukisan.
“Nyaris tidak ada lukisan tentang kelautan,” ungkap Agus.
Lukisan jagad kelautan, lanjut Agus, yang terabaikan juga tampak pada beberapa kompetisi besar seperti Philip Morries Indonesia Art Award, Jakarta Art Award, dan OUB Art Award.
Menurut Agus, kebanyakan pelukis memlih tema cerita manusia di tengah kelindan filsafat dan kerumunan isu sosial politik. Dunia luas kelautan, tampak tidak menggelitik.
Oleh karena itu, kehadiran Mansyur HB dengan tema-tema laut dengan nelayan, merupakan hal yang menyenangkan.