Warta

Cak Nur Mundur dari Konvensi Capres Golkar

Kamis, 31 Juli 2003 | 05:58 WIB

Jakarta, NU.Online
Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid mundur dari Konvensi Pemilihan Calon Presiden Partai Golkar. Dalam jumpa pers mendadak hari Rabu malam Nurcholis menjelaskan alasan kemundurannya adalah karena keikutsertaan Akbar Tanjung dan perbedaan nilai dalam menegakkan good governance.

''Keikutsertaan Akbar dalam konvensi menimbulkan konflik kepentingan pada DPP maupun DPD Partai Golkar,'' kata Cak Nur memberi alasan."Soal Akbar mengambil formulir, ya, itu hanya the last hard proof atau bukti kuat terakhir yang akhirnya membenarkan hipotesis kami soal konvensi ini. Tetapi, yang paling jelas, ada kesenjangan etika antara kami dan konvensi," kata Nurcholish menambahkan seperti dikutip ANTARA. Ia memperjelas persoalan kesenjangan etika yang dimaksudnya.

<>

"Saat kami menyampaikan visi dan misi, kami ditanya mana gizinya. Anda tahu lelucon gizi ini?" ucap Nurcholish bertanya. Setelah didesak, akhirnya dia menjelaskan, yang dimaksud dengan "gizi" adalah uang. Saat menyampaikan visi dan misi di beberapa daerah, Nurcholish mengaku ditanya berapa besar uang yang bisa diberikan oleh dirinya. Dengan mundurnya Cak Nur, sampai semalam, baru lima orang tokoh yang mencalonkan secara resmi untuk jadi calon Presiden dari Partai Golkar.

Selain Akbar Tanjung, empat orang lainnya adalah Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Wiranto, dan Jusuf Kalla. Akbar Tanjung ternyata bukanlah calon paling populer yang diajukan oleh DPD.  Akbar hanya diajukan oleh 21 DPD, sedangkan pemimpin Media Indonesia Surya Paloh dan Ketua KADIN Aburizal Bakrie menempati urutan teratas dengan dukungan 27 DPD.

Sementara itu Pengamat politik Indira Samego mengatakan mundurnya Nurcholis Madjid (Cak Nur) sebagai Capres dari konvensi Partai Golkar merupakan konsekuensi logis karena ternyata tidak ada DPD Partai Golkar (yang signifikan) mendukungnya.

"Apalagi dalam kondisi sekarang ini yang membutuhkan pengerahan massa dan dana yang kuat, sedang Cak Nur kelihatan tidak memiliki itu," katanya saat diminta pendapatnya sebelum diskusi tentang Kecurangan Pemilu dan Peran Lembaga Pemantau Pemilu yang diselenggarakan The Habibie Center di Jakarta, Kamis.

Menurutnya, pengunduran Cak Nur itu menunjukkan bahwa politik Indonesia masih berbeda dengan apa yang diharapkan Cak Nur. Politik Indonesia itu tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan dan perebutan kekuasaan. Disebutkannya, Cak Nur adalah figur yang berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang dicalonkan dalam konvensi Partai Golkar. Tokoh selain Cak Nur mendapat dukungan dari DPD Partai Golkar atau paling tidak pernah aktif di Partai Golkar serta memiliki uang.    

"Dengan alasan itu, Cak Nur kelihatannya tidak bisa ikut terus dalam konvensi," katanya. Karenanya, ia menyarankan ada dua opsi yang sebaiknya ditempuh Cak Nur, yani melupakan pencalonan dirinya sebagai Capres dan kembali berjuang memberikan saran dan masukan sebagai guru bangsa.  Selain itu adalah menggalang dukungan dengan berkoalisi dengan partai-partai lain untuk mengintroduksi niai-nilai baru, dan itu bisa dilakukan dengan melobi tokoh Parpol lainnya, seperti Eros Jarot, Rahmawati, dan Syahrir. Ditegaskannya, pemilihan Presiden ditentukan oleh rakyat, dan bukan oleh Parpol.

Ditempat terpisah Bomer Pasaribu Sekretaris Badan Pengawas Konvensi Nasional Pemilihan Capres Partai Golkar, menyayangkan mundurnya cak nur dari  konvensi, sejak awal keikutsertaan awal Cak Nur dalam konvensi itu, memang ada perbedaan sangat prinsip antara Cak Nur dengan Partai Golkar, yaitu adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang semestinya tidak ikut dan siapa yang tidak perlu ikut konvensi.

Cak Nur membandingkan konvensi yang dilakukan Golkar akan sama dengan konvensi yang ada di Amerika Serikat (AS). Di Indonesia, konvensi yang dirintis Golkar didasarkan pada Pasal 6a UUD 1945 bahwa seorang presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan dasar tersebut, maka siapa pun termasuk dari kalangan independen atau dari luar partai berhak mencalonkan atau dicalonkan melalui partai politik atau gabungan partai politik.

Sedangkan di AS, tidak ada ketua umum partai dan struktur partai. Bahkan pengurus partai dan Setjen partai adalah orang upahan atau karyawan profesional yang bertugas melayani kepentingan partai. Menurut Bomer, perbedaan itu telah disadari banyak orang. Apalagi Cak Nur telah menegaskan bahwa orang dalam tidak perlu ikut konvensi. "Pernyataan itu tidak sesuai dengan Pasal 6a UUD 1945," katanya.

Semestinya, kata Bomer, siapa pun yang ikut konvensi sudah memahami pasal itu. "Tidak semestinya pengurus partai disuruh keluar untuk tidak ikut konvensi kemudian orang luar yang ikut konvensi," katanya.(Cih)


Terkait