Warta

Gus Dur Tak Pernah Selesai Dikupas

Sab, 12 Juni 2010 | 06:28 WIB

Pati, NU Online
Pemikiran-pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang tak pernah selesai dikupas. Pasca wafatnya Gus Dur, beberapa komunitas santri, aktifis, mahasiswa hingga politisi tak henti melakukan refleksi terhadap pemikiran cucu KH Hasyim Asy’ari ini.

Buku-buku yang hadir untuk mengenang Gus Dur banyak beredar. Salah satunya, buku “Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif” karya Syaiful Arif, santri pesantren Ciganjur dan mahasiswa UIN Jakarta. Buku ini pada Jum’at (11/6) siang kemarin dibedah di aula Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA), Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.<>

Syaiful Arif, memaparkan, lanskap pemikiran Gus Dur serta terobosan bagi ilmu sosial di negeri ini. “Gus Dur itu punya pemikiran lintas batas. Pemikiran sosial, politik dan demokrasi sangat penting tidak hanya untuk Indonesia, namun juga bagi dunia,” tegas Arif.

Arif juga memaparkan rahasia-rahasia kepemimpinan dan pemikiran Gus Dur yang tidak diketahui oleh publik.

“Saya telah bertahun-tahun nyantri di ndalem Gus Dur. Saya terbiasa menyiapkan meja dan bantal untuk ngaji Gus Dur, setiap hari Sabtu, ketika beliau masih hidup. Peristiwa-peristiwa yang saya tangkap dalam jarak sangat dekat inilah yang memperkaya analisa saya ketika menuliskan pemikiran Gus Dur,” katanya.

Pembanding diskusi ini, Ahmad Dimyati mengkritisi karya Arif sebagai tulisan yang susah berjarak. “Ada kecenderungan bagi penulis-penulis dengan latar belakang santri, ketika mengkritisi pemikiran kyai, tak bisa berjarak dan obyektif. Namun, bisa dikatakan, buku ini merupakan buku penting sebagai pintu untuk memasuki pemikiran Gus Dur”.

Khoiriyah, santri di pesantren Kajen, menyatakan bahwa pemikiran Gus Dur sangat mempengaruhi pemikiran dan tradisi santri. “Gagasan demokrasi dan pemikiran keagamaan Gus Dur  memberi efek positif bagi kehidupan warga negeri ini”.

Bedah buku yang dihadiri puluhan mahasiswa dan santri ini selain mengkaji gagasan Gus Dur yang demikian luas, namun juga mengkritisi pemikiran maupun sikap Gus Dur. “Gus Dur itu demokratis dalam pemikiran, namun otoritarian dalam manajemen kepemimpinan,” kritik Syaiful Arif.

salah seorang peserta diskusi Ali Maftuh, mahasiswa STAIMAFA, mengungkapkan bahwa, tugas penting pesantren dan Indonesia, adalah menyiapkan pemikir besar pasca-Gus Dur.

“Hal penting yang perlu menjadi refleksi bersama adalah menyiapkan kader-kader pasca Gus Dur. Pesantren dan kampus agama layak menjadi pintu awal untuk melahirkan generasi transformatif pasca Gus Dur,” katanya. (mon)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait