Banda Aceh, NU.Online
Anggun, Megah dan terlihat tua, ya masjid Raya Baiturrahimm Banda Aceh. Masjid yang mampu menampung 7.000 jamaah. Di tempat ini bediri semua kebanggan dan semangat heroik rakyat Aceh di masa lalu. Dan tempat ini selalu menjadi tujuan pertama, hingga anda pasti akan selalu ditanya, "sudahkah anda foto di Masjid Raya ?"
Seolah-olah foto di Masjid Raya Baiturrahman (Rumah Pemurah) yang memiliki lima kubah menjadi stempel seseorang sah menginjak kaki di daerah paling ujung barat dari Pulau Sumatera. Mereka yang ke sana di antaranya presiden Indonesia pertama hingga keenam. Juga Duta Besar Amerika Ralph R Bocye pada Februari 2002. Ia menelisik setiap inci kaligrafi di masjid dengan perpaduan arsitektur Cina, Eropa dan India. Dan hampir semua tokoh yang datang ke bumi serambi Mekah ini, mampir disini.
<>Cikal bakal masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 1292, zaman kerajaan Sultan Alaidin Johan Mahmud Syah I (1267-1309). Bentuk awalnya kerucut dan berlapis tiga. Pada masa kerajaan Sri Ratu Nurul Alam Naaqiatuddin (1675-1678) terjadi benturan antara elite aliran agama di istana. Pertarungan sengit ini menjalar hingga huru hara meletus. Istana yang menyatu dengan masjid dibakar. Dan masjid berkubah satu pun ikut terbakar.
Akibat kejadian itu turut musnah buku-buku sastra hasil karya Hamzah Fanzuri, Nuruddin Ar-Raniry, Nuruddin Sumatrani. Tragedi intelektual ini meletus pada tahun 1677. "Konon asapnya baru menghilang tujuh hari kemudian dan abu buku itu menghitampekatkan Krueng Aceh, sungai yang berada 200 meter dari lokasi." ungkap pengurus Masjid Raya Baiturrahman Drs Tgk H Ridwan Johan dalam kesempatan wawancara
Hal senada seraya menambahkan diungkapkan pula oleh ketua wilayah Nahdlatul Ulama Aceh, KH. Nur Ismail, yang mengatakan, pada masa kejayaan Aceh zaman Sultan Iskandar Muda tahun 1612, Masjid ini direkonstruksi. Lembaga pendidikan dari madrasah (setingkat SD), ibtidayah (setingkat SMP), tsanawiyah (setingkat SMU) hingga universitas didirikan sebagai satu komplek dari Masjid Raya, tegas dosen IAIN Unsyiah ini
Mahasiswa berdatangan dari seluruh nusantara. Misalnya Syeikh Yusuf al-Makasary (dari Makasar) yang belajar ilmu kalam dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh Burhanuddin Pariaman (dari Sumatera Barat) belajar ilmu thariqat pada Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala. Namun Belanda datang membawa kesengsaraan. Sasaran pertama yang dihancurkannya adalah Masjid Raya. Belanda tahu persis, masjid tidak hanya dipakai untuk shalat. Namun menjadi pusat mengatur strategi melawan penjajahan.
Rakyat Aceh mencatat, 10 April 1873 menjadi sejarah hitam karena negara kincir angin itu membumihanguskan rumah Allah. Siapa pun mendidih darah bila rumah ibadah diusik walaupun yang bersangkutan seorang penyabung ayam yang ulung atau pengemar judi yang mahir. Ternyata, menghancurkan rumah ibadah membangkitkan spirit heroik.
Taktik etis terpaksa dijalankan. Rakyat Aceh perlu diredam gejolak marah. Adalah Gubernur Van Suiten di Jakarta yang berjanji membangun kembali masjid yang dibakar oleh anak buahnya. Janji itu ditepati penerusnya Gubernur Jenderal Mayor K. Van Der Hejden dengan membangun pada lokasi yang sama. Teungku Kadhi Malikul Adil atas nama Van Der Hejden meletakan batu pertama disaksikan oleh rakyat Aceh pada 9 Oktober 1879.
Tiga tahun kemudian pada 27 Desember 1883, masjid yang dirancang oleh warga Prancis Kapten Genie Marechausse de Bruijin selesai dengan menguras kas negara Belanda 203.000 gulden. Belanda serius menangani pembangunan masjid ini. Kualitas bangunan dijaga betul. Pantas saja, bentuk asli masjid masih tahan dari gempuran siraman hujan, sengatan matahari. Untuk lantai, sang penjajah itu mengimpor batu pualam dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma. Demikian juga, kontraktor masjid ini dipegang oleh orang Cina dengan pekerja dari India atau Burma. Justru orang Aceh tidak terlibat dalam mega proyek untuk mengambil hati rakyat Aceh. (Cih)***