Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno adalah tokoh besar yang tidak hanya memiliki pemikiran besar. Kebesarannya juga terlihat dari tindakannya yang berani dan penuh risiko dengan menantang kukuhnya tembok kolonialisme. Ancaman penjara dan pembuangan tidak pernah menghambat gerak perjuangannya.
"Tetapi harus diingat kebesaran Bung Karno itu bukan tanpa tantangan. Semua tantangan dihadapi dengan ketegaran akhirnya penjajah bisa disingkirkan, kebesaran beliau itulah yang menginspirasi bahkan menggerakkan kaum muda untuk bergerak melawan," kata Mustasyar PBNU KH Muchit Muzadi (Mbah Muchit) kepada NU Online terkait pelaksanaan berbagai peringatan untuk Bung Karno di bulan Juni ini.<>
Seusai kemerdekaan bukan berarti tantangn itu hilang. Ketika Bung Karno melakukan nasionalisasi sistem politik dengan memperkenalkan Pancasila pada 1 Juni 1945 itu sebenarnya banyak pihak tidak senang. Mereka menghendaki Indonesia tetap menggunakan sistem Belanda.
Apalagi, kata Mbah Muchit, ketika Bung Karno melakukan nasionalisasi perekonomian dengan dibarengi penyitaan semua perusahaan asing yang selama ini menghisap kekayaan bangsa Indonesia. Maka berbagai sarana untuk menjatuhkan Bung Karno dilakukan.
Secara umum pasca Perang Dunia Kedua Inggris telah menyerahkan kepemimpinan super power ke Amerika Serikat. Sementara keterlibatan Amerika di Indonesia dimulai sejak masukknya negara itu menjadi salah satu Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Inggris, Belgia dan Amerika. Mulai saat itu Amerika memiliki alasan formal untuk masuk wilayah Indonesia.
"Dengan peran seperti itu Amerika menjadi penghalang utama usaha nasionalisasi yang dilakukan Bung Karno terhadap perusahaan asing yang ada di Indoensia, baik milik Belanda, Inggris atau milik Amerika," kata sesepuh NU itu.
Cara menghadang Bung Karno misalnya ditempuh dengan melaporkan ke Mahkamah internasional, melakukan sabotase atau blokade ekonomi termasuk boikot terhadap produk Indonesia. Cara lain yang dilakukan adalah membuat propaganda buruk tentang Bung Karno.
"Bung Karno sampai dituduh sebagai demagog yang hanya meracuni kesadaran rakyat. Rakyat hanya diajak berevolusi tapi tidak dikasih makan," katanya.
Bung Karno juga dituduh berwawasan elitis sukanya hanya membangun proyek mercusuar seperti membangun Monumen Nasional (Monas), Gelora Senayan, maupun Masjid Istiqlal, termasuk pembanguna beberapa patung kota, sehingga menuduh Bung Karno Megalomania.
Memang Bung Karno membangun semuanya itu, tetapi sebenarnya Bung Karno juga membangun infrastruktur ekonomi Indonesia. Untuk mengembangkan Indonesia dibuka berbagai macam sekolahan untuk memajukan pertanian dibangunlah berbagai macam bendungan mulai Jatiluhur, Karangkates, dan sebagainya.
Dibangun juga pabrik baja, industri pesawat terbang, termasuk pengembangan energi nuklir baik untuk industri dan pertanian. Saat itu memang Indonesia belum memiliki uang, sehingga pembangnannya lambat, tetapi perencanaanya pasti, banyak anak cerdas yang disekolahkan ke luar negeri agar bisa membangun tanah airnya.
"Karena propaganda itu muncul dari musuh Bung karno, makanya yang ditonjolkan hanya Monas dan Gelora Bung Karno yang dianggap menghaburkan uang, sementara sektor riil dilupakan. Padahal keduanya pun sangat penting," kata Mbah Muchit.
Sebagai bangsa yang baru bangkit dari penindasan penjajah, mental atau karakter bangsa perlu dibangun. Pembangunan Monas, atau sarana olah raga yang membanggakan diperlukan untuk membangkitkan semangat dan harga diri bangsa ini.
"Tidak seperti sekarang ini kita tidak memiliki kebanggaan karena karakter bangsanya lemah. Diperlukan orang seperti Bung Karno yang mampu membangkitkan bangsanya, mampu mengangkat harga diri dan ras bangsa Indonesia," pungkas Mbah Muchit. (nam)