Warta

MUI : Tidak Ada lagi Perbedaan Penentuan Ramadhan, Syawal, Dzulhijah

Rab, 21 Januari 2004 | 19:09 WIB

Jakarta, NU.Online
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin menegaskan tidak akan ada lagi perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah antarorganisasi-organisasi masyarakat Islam Indonesia, karena seluruh umat Islam harus menaati apa yang ditetapkan pemerintah.

"Itu sudah merupakan kesepakatan semua Ormas Islam bersama MUI yang dituangkan dalam fatwa MUI di mana pemerintahlah yang akhirnya menetapkan, dan umat Islam wajib menaatinya," kata Ma’ruf kepada wartawan setelah Sosialisasi Fatwa Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ke berbagai Ormas Islam yang dilanjutkan Pengumuman Hasil Sidang Isbath tentang Penetapan 10 Dzulhijjah 1424 H di Jakarta, Rabu.

<>

Fatwa MUI tentang penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang dihasilkan pada 16 Desember 2003 itu, kata Ma’ruf, disepakati untuk mengatasi terjadinya perbedaan di antara umat Islam dalam menentukan tanggal-tanggal penting.

Menurut dia, perbedaan dalam proses penetapan tetap tidak tertutup, namun keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah, dalam hal ini Menag, setelah melakukan konsultasi dengan semua Ormas, sehingga ketetapan akhir akan tetap satu. "Keputusan akhir harus satu karena ini menyangkut kepentingan
umat di mana perbedaan itu adalah masalah yang belum terpecahkan, hanya menajamkan perbedaan yang ada dan menggambarkan kekurangmampuan umat dalam bersatu," katanya.

Ditanya soal sanksi hukum jika ternyata masih ada ormas Islam yang memiliki ketetapan di luar keputusan pemerintah, ia mengatakan, tidak ada, dan kalaupun ada hanya berupa sanksi moral. Ia juga mengatakan pemerintah menggunakan dua metode hisab dan rukyat, namun ketetapannya merupakan kesepakatan antara keduanya.

Menag Said Agil Al-Munawar mengatakan, keputusan Menag tentang penetapan tanggal-tanggal penting dikeluarkan setelah berkonsultasi dengan ormas-ormas Islam dan para ulama dan karena itu perlu disusun rambu-rambu untuk menentukan tolak ukur bagi terciptanya titik temu. Sementara itu, Sekretaris PP Muhammadiyah Goodwill Zubeir mengatakan, belum bisa terlalu jauh berkomentar seperti apa jadinya jika pintu perbedaan ditutup, padahal UUD 1945 saja menjamin adanya perbedaan.

 "Makanya kita lihat saja dulu rambu-rambu untuk menentukan titik temu yang katanya mau diciptakan itu, dan bagaimana bentuk konsultasi dengan ormas-ormas itu, karena setiap ormas memiliki komisi fatwanya masing-masing," katanya. Kebetulan saja, ujarnya, hasil dari penggunaan metode hisab dan
metode rukyat untuk memutuskan kapan 10 Dzulhijjah (Idul Adha) kali ini tidak berbeda sehingga tidak menjadi masalah.

 Sementara Rois Suriah bidang Rukyat PB Nahdlatul Ulama (NU) Irfan Zidny mengatakan, MUI ingin menyatukan kedua pendapat untuk penetapan tanggal penting Islam yang sering berbeda yakni metode hisab yang digunakan antara lain oleh Muhammadiyah dan rukyat yang antara lain digunakan NU.

"NU selalu terbuka terhadap upaya rukyat dengan teknologi canggih, sehingga jika hilal tidak bisa dirukyat (dilihat) dengan mata maka dengan teknologi, itu pun masih ada hadist-hadist yang memberi kesempatan untuk istikmal (penyempurnaan bulan -Red)," katanya (cih)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait