Warta

NU Penopang Keutuhan Bangsa

Senin, 31 Mei 2010 | 11:24 WIB

Jakarta, NU Online
Globalisasi memberikan kesempatan dan tantangan bagi setiap bangsa. Indonesia, dengan kondisi geografis yang terbuka, sangat rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing yang mengancam keutuhan bangsa.

Apalagi, dengan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang kini memberi kebebasan semua orang untuk berpendapat bisa menjadi lahan subur munculnya ekstrimisme. UU Anti Subvesri yang dulu bisa digunakan untuk menjerat para ekstrimis kini sudah dicabut.<>

Meskipun seseorang bicaranya sudah provokatif, tetapi tidak boleh ditangkap kalau belum melakukan tindakan-tindakan yang sudah jelas-jelas mengarah pada kekerasan.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menuturkan baru-baru ini diundang oleh Menkopolkam untuk meminta bantuan NU agar bersama-sama dengan pemerintah menyelamatkan bangsa dari tindakan kekerasan atas nama agama. Dan ia menegaskan NU siap membantu asal ada sinergi.

“Polisi hanya menangkap, menembak dan membunuh, ngak bisa mencabut sampai akar-akarnya, harus ditopang oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah. Karena itu, jika NU stabil dan kuat, akan memiliki peranan penting dalam menyelamatkan keutuhan bangsa,” katanya kepada NU Online, Senin.

Dijelaskannya, persoalan ekstrimisme sebenarnya bukan hanya dihadapi oleh Indonesia saja, semua negara dengan penduduk mayoritas muslim menghadapi persoalan yang sama. Bahkan di sejumlah negara Islam yang tertutup, para ekstrimis dibunuh tanpa diadili.

“Yang berkewajiban menghadapi pertama adalah pemerintah, NU dan lainnya diajak, polisi yang harus mengatasi,” terangnya.

Kesalahan Kurikulum

Kang Said berpendapat, berkembangnya kelompok ekstrim di Indonesia kesalahan kurikulum pelajaran agama yang kurang menyentuh aspek toleransi, padahal dalam Qur’an sendiri, banyak berbicara tentang kelompok non muslim, seperti surat Ar Rum yang berbicara tentang bangsa Romawi, surat Maryam yang merehabilitasi nama baik Maryam bahwa Yesus merupakan anak haram, sementara di Injil, hal tersebut malah tidak dijelaskan. Hal-hal seperti ini tidak dijelaskan kepada anak sekolah.

NU dengan 14 ribu pesantren dengan jumlah jutaan santri tak satupun yang terlibat tindakan terorisme. Ini berkebalikan dengan pesantren seperti yang ada di Pakistan atau Afganistan yang menjadi sumber rekrutmen terorisme.

“Yang keras malah di sekolah umum, di ITB dan lainnya. Ketika seorang insinyur, atau teknokrat ingin faham Islam, mereka ingin jalan cepat. Kalau pesantren kan minimal tiga tahun, kita kan harus bisa baca Qu’annya benar, kalau di sana tidak,” tandasnya.

Mereka yang ingin belajar Islam secara cepat tidak mendapatkan pemahaman keagamaan yang komprehensif karena hanya dijelaskan tentang ayat-ayat yang keras, seperti ayat jihad, ayat-ayat tentang pengkafiran orang dan sejenisnya.

Seringkali, orang yang ingin belajar agama secara instant ini merupakan kelas menengah yang sudah mapan, seperti para pejabat dan professional yang secara sosial ingin dianggap sholeh. Mereka juga menggunakan simbol-simbol yang menunjukkan kesan sikap religius dengan menaruh tasbih, Qur’an dan sajadah di mobil. (mkf)


Terkait