Warta

PBNU: Perbedaan Budaya Jadi Masalah TKI di Luar Negeri

Rabu, 23 April 2008 | 08:21 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta kepada pemerintah agar lebih memperhatikan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebelum mereka diberangkatkan ke luar negeri. Pasalnya, perbedaan budaya antara Indonesia dengan negara yang ditempati kerja, merupakan masalah tersendiri bagi para TKI tersebut.

“Di Arab Saudi, orang Arab berpikir bahwa ketika mereka mempekerjakan TKI, berarti mereka sudah membelinya. Artinya, kalau sudah dibeli, mereka berpikir, maka mau diapa-apain pun tidak masalah,” ungkap Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.<>

Ia mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara utama pada Dialog Nasional yang digelar Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (23/4). Acara bertajuk “Problematika TKI Kita” itu dihadiri Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno.

Hasyim menjelaskan, selama ini, masalah tersebut tidak diperhatikan dalam kontrak antara TKI bersangkutan dengan pihak penyalur. Akibatnya, para tenaga kerja yang merupakan penyumbang devisa negara terbesar itu kerap mengalami penganiayaan yang tak dapat diselesaikan dengan kontrak.

Selain itu, menurut Hasyim, pemerintah harus juga memperhatikan tingkat pendidikan para TKI itu. Pasalnya, sebagian besar dari mereka merupakan warga negara yang berpendidikan rendah.

“Tidak heran jika mereka kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau kuli kasar. Kalau ada masalah terkait nasibnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” pungkasnya.

Ia mengaku prihatin atas banyaknya kasus yang melibatkan nasib TKI di luar negeri. “Harga diri Indonesia sebagai bangsa turun karena kasus TKI. Kalau ada tokoh Indonesia ke luar negeri yang banyak TKI-nya, masyarakat setempat seolah-olah menganggapnya mau jadi TKI,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Menakertrans Erman. Ia mengungkapkan, TKI yang bekerja di luar negeri sebanyak 4 juta orang. 87 persen dari mereka, katanya, merupakan tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sisanya berpedidikan sekolah menengah umum dan perguruang tinggi.

“Ini (masalah TKI) juga berkaitan dengan kebijakan pendidikan nasional kita. Kalau pemerintah hanya mensubsidi pendidikan dasar, maka angka tersebut tidak akan berubah. TKI kita tetap akan menjadi pekerja kasar, buruh, pembantu rumah tangga dan sebagainya,” terang Erman. (rif)


Terkait