Jakarta, NU Online
Pluralitas bangsa Indonesia seringkali dijadikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai isu untuk menjerumuskan anak bangsa dalam perpecahan. Sejumlah peristiwa kekerasan dan konflik antar anggota masyarakat seperti peristiwa Maluku, Kalimantan, Poso, Papua, Aceh dan peristiwa lainnya di daerah-daerah, seringkali dipicu oleh soal keberagaman agama dan etnis warga. Demikian kesimpulan yang disampaiakn oleh Sekretaris PWNU Lampung Drs. Munzir Ahmad Syukri dalam "Dialog Lintas Agama Hadapi Pemilu 2004," di Lapung, kemarin.
Dalam dialog yang dihadiri oleh ketua KPU propinsi Lampung Drs. Suwondo, MA , dua orang pengamat politik Drs Nanang Trenggono, Prof. Dr. Damrah Khoir, MA. dan Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, SH, MA dari Percik Salatiga sebagai nara sumber.
<>Munzir dalam pengantarnya mengatakan latar belakang diadakanya dialog adalah bahwa sebagai bangsa yang majemuk (secara etnik, rasial, cultural dan religius), bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam perjalanan waktu yang cukup panjang ternyata kemajemukan itu disatu sisi telah menjadi sebuah kekuatan yang signifikan disisi lain disadari atau tidak menjadi sebuah kelemahan dalam kehidupan bangsa.
Akhir-akhir ini bangsa kita dianggap sebagai bangsa yang masyarakatnya plural yang terkotak-kotak (segregated pluralistic society). Di sisi lain agama harus dijadikan benteng yang kuat bagi bangsa kita untuk menjaga moral dan sikap masyarakatnya.
Menghadapi Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 2004 ini dengan sistem dan perundangan-undangan yang baru, dimana Pemilu dilakukan dengan dua tahap, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan potensi besar yang dapat menimbulkan kekerasan dan konflik kepentingan.
Apalagi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu, menggunakan sistem multi partai, proporsional dangan daftar terbuka, daerah pemilihan, cara pencoblosan bagi pemilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, dan sebagainya, sementara sosialisasi terhadap sistem baru itu disamping intensitasnya kurang juga waktunya cukup sangat singkat. Sedang Partai Politik disamping disibukkan oleh upaya-upaya agar lolos dari ferivikasi, juga sibuk untuk menyusun calon legislatifnya, sehingga Parpol praktis tidak melakukan proses pencerdasan terhadap konstituennya (pemilih), bahkan sebagian Parpol mengajarkan pemilih untuk memilih dengan cara pemilu sebelumnya. Dengan kondisi yang demikian ini sangat dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan dan kekerasan antar kelompok di internal Parpol maupun eksternal Parpol.
Dalam kaitan ini maka masyarakat pemilih memiliki peran yang sangat signifikan dalam memberikan dukungan terhadap Parpol dan calon legislatif peserta Pemilu, jika dilandasi oleh kesadaran yang baik, bermoral, sikap yang santun dan kecerdasan dalam memberikan dukungan/memilih. Jika kesadaran politik tidak muncul dalam diri pemilih ketika memberikan dukungannya, maka akan memberikan peluang kepada Parpol atau calon legislatif hanya mengeksploitasi para pemilih untuk memberikan dukungan tanpa memperhatikan kepentingan konstituennya. Akibatnya akan muncul anggota legislatif yang hanya menempatkan kepentingan pribadi dan golongannya pada prioritas utama, sedangkan kepentingan masyarakat pemilihnya terabaikan. Hal demikian juga tidak boleh dibiarkan terjadi.
Untuk tidak membiarkan berbagai hal diatas terjadi, dan Pemilu tahun 2004 dapat terlaksana secara tertib, aman, damai dan berkualitas, maka benteng akhir yang menjadi simpul perekat dan pengayom masyarakat adalah “Agama”, karena agama adalah satu-satunya yang dapat menjaga sikap dan moralitas masyarakat bangsanya. Sebagaimana hasil survei pemilih Indonesia tahun 2003 yang dilakukan The Asia Foundation mengungkapkan bahwa adanya kepercayaan yang tinggi dari masyarakat kepada lembaga keagamaan sebagai sumber informasi yang terpercaya dan menarik mengenai Pemilu 2004 mendatang, melebihi dari sumber lainnya. (Supriyadi/ma)