Warta

Politik Aliran Belum Mati

Selasa, 21 Juli 2009 | 11:45 WIB

Surabaya, NU Online
Siapa bilang politik aliran telah lenyap dari ranah politik Indonesia? Itulah pernyataan yang disampaikan pengamat politik Islam Dr Bachtiar Effendy MA saat dialog di acara Surabaya First Channel di Radio Trijaya Surabaya, Selasa (21/7) pagi.

Bachtiar menyatakan, melihat fenomena hasil pilpres 8 Juli 2009 yang dimenangkan duet SBY-Boediono--berdasar hitungan cepat berbagai lembaga survei--bukan mengindikasikan matinya politik aliran di Indonesia. "Faktornya kompleks untuk membedah latar belakang pemilih menjatuhkan pilihan politiknya," tambahnya.<>

Konsep politik aliran mulai mengemuka pascapemilu pertama di Indonesia tahun 1955. Berdasar kajian Clifford Geertz, ada 3 golongan besar di struktur sosial masyarakat Indonesia, yakni priyayi, santri, dan abangan. Menurut antropolog Amerika Serikat ini, penggolongan itu berkaitan erat dengan kecenderungan pilihan dan afiliasi politik warga.

Yang mana pada pemilu 1955, kelompok santri lebih banyak mendukung Partai NU, Masyumi, Perti, dan PSII. Kelompok priyayi mendukung PNI dan PSI, dan kelompok abangan lebih banyak mendukung PKI maupun PNI.

"Memang, hasil pemilu 1955, prestasi partai-partai Islam cukup bagus. Mereka mampu mengumpulkan suara secara nasional sebanyak 43%," katanya seperti dilansir beritajatim.com.

Tapi, sayangnya, realitas prestasi partai Islam itu dari pemilu ke pemilu semakin menurun. Padahal, kata Bachtiar, mayoritas penduduk Indonesia itu beragama Islam.

"Okelah di era Orde Baru pemilu berlangsung tidak jurdil dan tak luber. Tapi, apakah kiai dan umat Islam yang mendukung Golkar saat itu tak boleh menyebut dirinya Islam. Kan tidak," tukas Bachtiar.

Karena itu, Bachtiar berpendapat hasil sementara pilpres 2009 yang menunjukkan SBY-Boediono lebih unggul dibanding Mega-Prabowo dan JK-Wiranto tak bisa divonis bahwa politik aliran di Indonesia telah habis eranya atau lenyap.

"Di sini ada faktor kuatnya figur Pak SBY dan model pencitraan yang dilakukan tim pemenangannya," katanya.

Bachtiar optimistis bahwa banyak suara yang mendukung SBY-Boediono juga bersumber dari pemilih Islam. Di kalangan komunitas santri, katanya, selain ada kiai-kiai yang mendukung JK-Wiranto, juga tak sedikit kiai yang mengarahkan dukungan umatnya kepada SBY-Boediono maupun Mega-Prabowo.

"Kalau kiai mendukung SBY-Boediono dan diikuti umatnya, kan artinya di situ ada pengaruh politik aliran," jelasnya. Bachtiar memandang kekalahan berdasar hitung cepat berbagai lembaga survei jangan dimaknai bahwa politik aliran telah habis di ranah politik Indonesia. Meskipun, katanya, sejumlah tokoh NU dan Muhammadiyah cenderung JK-Wiranto pada pilpres 8 Juli lalu, tapi kemudian JK-Wiranto kalah, jangan dimaknai bahwa Indonesia sekarang tak membutuhkan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

"Jangan ditafsirkan seperti itu. Perlu kajian mendalam apakah benar politik aliran itu masih eksist atau sudah tak relevan lagi dengan realitas politik di Indonesia," tegas Bachtiar. (mad)


Terkait