Opini

Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren

NU Online  ·  Sabtu, 14 Juni 2025 | 20:58 WIB

Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren

Ilustrasi kecelakaan lalu lintas (Foto: Freepik)

Beberapa waktu lalu, Gus Alam (Kendal) wafat di jalan tol. Hari ini, 14 Juni 2025, Kiai Taufiq dan istrinya (pemuka agama di Pamekasan) juga berpulang. Kepergian dua ulama muda ini berselang tidak begitu lama. Lokasi kecelakaannya juga sama-sama di jalan tol. Jenis kendaraannya bahkan juga sama.

 

Akan tetapi, banyaknya persamaan ini bukanlah kebetulan yang bisa ditoleransi. Kecelakaan lalu lintas, seperti apa pun wujudnya, nyatanya dapat dikendalikan.


Sudah saatnya santri dan pesantren ambil bagian dari keselamatan berkendara di jalan raya. Kita tidak dapat membiarkan kasus-kasus seperti ini terjadi lagi, dimaklumi, lalu hilang begitu saja. 


Kecelakaan bisa dikendalikan, bisa diminimalisasi, dan inilah yang disebut ikhtiar. Sudah seharusnya kita ikut menghilangkan poin “kecelakaan di jalan raya” berada di klasemen teratas ‘pembunuh’ warga Indonesia, bersanding dengan diabetes, darah tinggi, dan penyakit-penyakit vaskular lainnya. 


Untuk jangka panjang, kiai, santri, pesantren secara umum, ambil bagian dalam urusan ini dengan menghadirkan konsep “Akhlak di Jalan Raya”, alih-alih sekadar “Tertib Berlalu Lintas”. 


Meskipun sama-sama maqashid-nya dengan Dikyasa Lantas, penyematan kata akhlak di sana secara otomatis mengacu pada aturan-aturan nash yang akan menopangnya, mendukungnya, menguatkan hujah-hujahnya karena masih banyak yang beranggapan bahwa urusan berlalu lintas ini bukanlah urusan agama, padahal ia adalah muamalah yang paling mendasar yang sudah barang tentu ada aturannya.


Kami telah menerapkan ikhtiar ini di Pondok Pesantren Annuqayah [Sumenep, Madura] dengan tiga modul utama: “Celoteh Jalanan” [tentang kesemrawutan di jalan, “Safari” [tata cara dan tips di jalan raya], dan “Tirakat Jalana”n [berisi hujah berbasis kaidah ushul fikih atas aturan tertib berlalu lintas. 


Sasaran prioritas yang menerima materi ini adalah siswa kelas akhir dan mahasiswa semester awal. Usia mereka adalah fase awal kebolehan mengantongi SIM. Tentu saja, kita harus melupakan dulu bagaimana proses pemerolehan SIM itu terjadi dengan sangat mudah di kalangan masyarakat. Ini sudah menjadi rahasia umum.

 

Targetnya adalah pemahaman terhadap aturan, kesadaran pada aturan, dan komitmen memegang aturan. Sudah sangat banyak bukti bahwa orang yang memiliki SIM tapi tidak mengerti rambu-rambu lalu lintas. 


Sementara mereka yang punya SIM dan sudah ahli, namun banyak yang tidak memiliki komitmen ketaatan. Banyak awam yang menyangka bahwa mengemudi itu hanyalah soal ngegas dan ngerem, tidak lebih. Yang mengerti rambu-rambu pun tidak banyak. Mereka tidak mengerti soal orientasi perjalanan, pengenalan medan, penguasaan kendaraan.
  

Model pengayaan dan modul pembelajaran bisa disusun sendiri oleh pesantren atau madrasah. Sekurang-kurangnya, materinya mencakup; pemahaman terhadap peserta bahwa tertib di jalan raya adalah dari akhlakul karimah.


Taat kepada aturan negara (melalui Dishub dan Kepolisian) selama itu kebaikan, hukumnya wajib. Memudahkan orang melintas sebagai bagian dari upaya ketertiban merupakan tanda keberimanan (sesuai hadis Nabi SAW), maka kurang lebih sama status versi mafhum mukhalafah-nya. 


Ikhtiar menuju keselamatan itu wajib. Adapun hasil akhirnya disebut tawakkal. Syarat untuk mengemudi haruslah tahu tata cara mengemudi dan mengerti aturan lalu lintas. Jika mengemudi adalah wajib, maka pengetahuan terhadap tata caranya juga wajib.Belajar (untuk mencari tahu seputar pengetahuan mengemudi, sebelum mengemudi) itu juga wajib. 


Adapun untuk para sopir kiai, maka adalah tugas sang kiai untuk untuk mewanti-wanti dan memberikan arahannya. Akan tetapi, sebelum itu, sebagai sopir, maka sudah sewajibnya si sopir menguasai lebih dulu pemahaman-pemahaman dasar mengemudi dan aturan berlalu lintas sebelum ia menjadi sopir (kiai). 


Ilustrasi untuk ini sebetulnya tergambar secara gamblang seperti kiai yang mengajak sopir untuk perjalanan yang akan melewati 3 masafah sehingga si sopir dengan sendirinya bisa niat jamak dan qashar dalam pelaksanaan ibadahnya (shalat atau puasa). Contoh ini menjadi bukti bahwa si tuan (kiai) bertanggung jawab terhadap pengetahuan kawula (sopir)-nya. 


Sebetulnya, adanya paguyuban Sopir Kiai (SK) yang cabangnya tersebar di seluruh Jawa, bahkan Sumatera, dan membantu proyek ini. Melalui paguyuban ini, sesama sopir kiai bisa saling berbagi dan saling belajar. Sementara bagi kiai, mereka harus berkesadaran juga, bahwa kiai di parkiran adalah Banser dan kiai di jalan raya adalah Polantas dan Dishub.


Kiranya, kuncinya cukup sederhana, yaitu “Taatlah pada aturan di mana engkau mestinya taat kepada aturan yang telah dibuat demi maslahat karena kecelakaan selalu diawali oleh pelanggaran dan melanggar bukanlah bagian dari ikhtiar.”

 

M Faizi, penyair, esais, penulis buku Merusak Bumi dari Meja Makan, kiai di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep