Reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa angin segar bagi perubahan politik yang memberi kebebasan. Sayangnya, banyak ide pembaharuan Indonesia mengulang kembali ide lama tentang demokrasi liberal yang sudah jelas gagal pada era 1950-an.
“Politik liberal pada tahun 1955-1959 terbukti tidak bisa mengatasi masalah kebangsaan. Demokrasi ini bertumpu pada kekuasaan an sich, bukan efektifitas kekuasaan untuk bangsa dan produktifitas bangsa,” kata KH Hasyim Muzadi baru-baru ini di gedung PBNU.<>
Era politik liberal di Indonesia dimulai ketika ada maklumat wakil presiden yang menginstruksikan agar semua golongan membuat partai politik. Akibatnya jumlah parpol meningkat drastis dengan pendekatan kekuasaan yang sangat menonjol. Kabinet tak dapat berumur panjang dan upaya konstituante untuk membuat UUD baru gagal. Kehidupan rakyat jelas kacau balau.
Dikatakan Hasyim, dari aspek hukum, politik liberal juga menimbulkan dilema. Hukum yang liberal dekat dengan kekuasaan dan modal daripada dengan keadilan. Siapapun yang ingin menggunakan hukum harus bayar, sehingga kalau tak punya uang tak punya kemampuan membela.
“Mulai dari penyidikan, advokasi, pengadilan, penuntutan semuanya berbau uang. Bayangkan kalau orang kecil kena perkara, mana mungkin dalam kondisi ini bangkit,” katanya.
Liberalisasi dalam sektor ekonomi juga menyebabkan bangsa Indonesia hanya menjadi tempat pemasaran dan eksploitasi orang asing. Indonesia belum mampu untuk bersaing dengan kekuatan asing sehingga negara harus melindungi dan mampu mengembangkan hasil usaha rakyatnya.
“Pengangguran terjadi ketika orang-orang berfikir tentang kekuasaan melulu sehingga kebutuhan sehari-hari dia tidak konsen. Itu belum dari segi pendidikan, yang verbalistik, tidak esensial dan aplikatif, bisa apakah lulusan kita, wong insinyur pertanian tak pernah ke sawah, insinyur kehutanan tak ke hutan. Dengan demikian, tak ada aplikasi dari disiplin ilmu,” tandasnya.
Hal yang sama juga menimpa kebudayaan Indonesia yang saat ini hanya menjadi peniru budaya bangsa asing, bukannya mengekpor budaya terbaik yang dimiliki. “Maka hancurlah budaya lokal, kearifan lokal dan sebagainya,” katanya.
Kualitas partai politik juga tak terjamin. Reformasi ini kan menggeser kekuasaan pada partai politik, dari ABRI, birokrasi dan Golkar. Partai politik tidak ada standarnya, maka tak ada standarisasi politisi dan negarawan.
Dalam kondisi ini berat untuk bangkit karena personel penyangga kebangkitan tak jelas klasifikasinya. Nah, untuk merapikan partai politik sangat sukar karena ini diatur oleh UU yang membuatnya juga partai politik.
Selanjutnya, sinergi antar lembaga juga tak ada, pemerintah dengan DPR, dan Kejagung, demikian pula koordinasi dari atas ke bawah. Ini menyebabkan tidak adanya unity of diversity, tetapi diversity of diversity.
“Jadi kita, belum merupakan bangsa yang beruntung, bangsa yang dari episode ke episode selalu maju mundur. Dia mengoreksi satu epiode dengan mengambil yang lebih lalu lagi. Waktu Pak Harto berkuasa dianggap gagal, lalu diganti liberal, dia lupa ini sudah gagal tahun 1955,” tandasnya. (mkf)