Jakarta, NU Online
Dalam hari kelima pasca gempa dan tsunami Aceh dan Sumatra Utara, jumlah korban terakhir sementara yang masuk ke Media Center Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dari Departemen Kesehatan pada pukul 09.53, Kamis (30/12) sudah mencapai 45.268 di N anggroe Aceh Darussalam (NAD). Bayangkan lah jumlah mayat sebanyak itu, tersangkut di pepohonan, tersuruk di selokan-selokan, terdampar di jalan-jalan, dan mulai membusuk. Meski beberapa ribu kini telah dikuburkan, secara massal.
Kondisi seluruh wilayah NAD memang mengenaskan, kota pelabuhan Ulhee Leu rata dengan tanah, penduduknya dihanyutkan tsunami. Kondisi yang sama juga menimpa Meulaboh yang 80 persen kotanya mengalami kerusakan parah, dan ribuan penduduknya tewas dihanyutkan tsunami. Penduduk yang berhasil menyelamatkan diri terpaksa menjadi pengungsi, di tengah kesedihan ditinggal anggota keluarga terdekat, anak, istri, suami, paman atau nenek, mereka yang selamat ini kebanyakan hanya bisa berjalan ke sana ke mari untuk mencari keluarganya di antara mayat-mayat yang berhasil dievakuasi tim relawan. Kondisi ini dan terbatasnya nelayan serta peralatan yang ada membuat kondisi korban tewas yang butuh segera dievakuasi semakin rusak.
<>Namun, untuk Banda Aceh, yang lebih mudah dijangkau dibanding daerah Meulaboh, Tapak Tuan dan wilayah selatan Aceh lainnya, nyaris belum tersentuh. Ribuan mayat korban tsunami masih mengambang di sungai, atau tersangkut pepohonan yang bagian bawahnya tergenang air. Kondisi inilah yang menjadi pertimbangan Syafik Alielha dan Mohammad Reza Sahib dari Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan Jakarta tidak memilih masuk ke Banda Aceh. Keduanya memilih untuk masuk ke daerah pesisir selatan Aceh.
“Saya dengan dua orang kawan dari Aceh akan mencoba masuk ke Meulaboh. Kenapa ke Meulaboh, karena pesisir selatan praktis belum tersentuh,” jawab Syafik Alielha.
Syafik Alielha berangkat dari Jakarta bersama dengan seorang aktivis dari Sumatera Utara Mohammad Reza Sahib menuju Medan, Rabu (29/12) dengan menumpang pesawat Mandala Airlines. Saat ditanya NU Online via handphone, Kamis (30/12) Syafik sudah sampai di Padang Bulan, tidak jauh dari Bandara Polonia Medan. Di tempat ini, Syafik dan Sahib singgah di Posko Bencana Aceh & Nias yang didirikan organisasi pergerakan pemuda, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).
Toh, niatan baik tidak selalu menemukan jalan yang mudah, sebab jalur menuju pesisir selatan rusak parah akibat gempah dan dihantam tsunami. Jembatan yang menghubungkan dengan jalan antar wilayah pun rusak berat. Karenanya, menurut Syafik, untuk menuju Meulaboh, hanya bisa ditembus melalui laut dan udara. “Kedua jalur ini pun tidak bisa sembarangan orang bisa ke sana, karena untuk sipil non pemerintah seperti kami pilihannya hanya menumpang perahu nelayan. Sementara perahu nelayan yang ada di Singkil belum pasti mau berlayar ke Meulaboh,” kata Syafik.
Meski demikian, kata Syafik, sudah tidak ada pilihan lagi, karena itu saya dan kawan-kawan tidak memaksakan diri untuk bisa ikut kapal AL yang akan ke Meulaboh pada siang tadi. Bukan karena persoalan kapal yang hanya bisa merapat 700 meter dari pantai karena pantainya berlumpur sehingga akan kesulitan dalam menurunkan logistik, persoalannya kapal hanya diprioritaskan untuk barang-barang, sedangkan helikopter hanya untuk aparat pemerintah.
“Pokoknya dari segi perlengkapan, semua kelengkapan untuk relawan sipil non aparat serba terbatas. Di wilayah Banda Aceh sendiri banyak relawan yang tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak dilengkapi perlengkapan yang cukup. Misal masker yang baik, padahal bau busuk sudah menyebar kemana-mana. Beberapa relawan yang saya temui di Medan mengatakan alasannya mereka balik lagi ke Medan, karena mereka tidak kuat,” ungkapnya.
Selain itu, tuturnya, kendala lain karena tidak adanya mobil sebagai alat angkut, selain rusaknya jalan. Akibatnya volume bantuan ke Banda Aceh sudah relatif besar, namun banyak yang tidak bisa terdistribusi. “Di bandara Polonia, dan bahkan di Halim sewaktu saya akan berangkat, banyak logistik yang menumpuk, sebab belum bisa diangkut pesawat. Ketika pesawat atau penerbangan sudah ditambah, harus menghadapi masalah kapasitas bandara yang tidak cukup, sehingga harus antri. Itulah sebabnya, setelah saya dan kawan – kawan tidak berhasil menumpang pesawat Hercules TNI AU, kami harus ganti Mandala, tapi hampir semua penerbangan ke Aceh atau Medan delayed (mengalami keterlambatan terbang: Red.) 3 hingga 5 jam,” kata Syafik.
Melihat medan yang akan ditempuh demikian sulit, apalagi dengan kondisi mayat yang sudah membusuk dan menyebarkan bau ke mana-mana telah mengakibatkan banyak petugas dan relawan tidak kuat. Syafik yang banyak bertemu banyak relawan yang masih berstatus sebagai mahasiswa dan sudah sarjana itu akhirnya mengajak mereka untuk memikirkan masak-masak seluruh resiko, sebab kalau tidak, katanya, bisa-bisa hanya akan menjadi beban bagi masyarakat yang ditimpa bencana.
“Banyaknya relawan yang pulang karena tidak kuat, tidak bisa disalahkan, tetapi informasi yang menyebabkan mereka tidak kuat harus dijadikan pertimbangan bagi yang ingin meneruskan,” kata mantan ketua umum FPPI ini.
Meski sadar, setelah 4 hari ge