Jakarta, NU Online
Presiden Perempuan, pada dua kali pemilihan umum terakhir menjadi perdebatan di kalangan ulama. Dalam Islam, soal imamah al-uzdma (pemimpin tertinggi, presiden) memang masih ihktilaf (ada beda tafsir), namun para ulama yang mengambil sikap hati-hati, cenderung mengharamkan. Hanya saja, pendapat para ahli soal ini dinilai sudah jauh dari inti persoalan yang sesungguhnya.
Demikian pernyataan DPP PKB yang disampaikan Ketua Umum Alwi Shihab, Wakil Ketua Umum Mahfud MD, dan Sekretaris Dewan Syuro Arifin Djunaidi. ''Tanggapan itu sudah keluar dari proporsi khilafiyah. Dan itu disampaikan oleh orang yang ngerti,'' ujar Alwi di Kantor DPP Kalibata, kemarin petang.
Mantan Menlu pada pemerintahan Gus Dur itu menilai, reaksi mereka yang tidak setuju sudah tidak sehat. Menurut Alwi, fatwa ini dikeluarkan karena para kiai itu bertanggung jawab pada umatnya, dan pendapat yang disampaikan mempunyai argumentasi dan dalil yang valid, serta diambil hadits shahih.
<>''Soal ada perbedaan itu, sejak dulu sudah begitu. Jangan dianggap negatif dan bermuatan politis. Apalagi dituduh mengganjal capres lain.''
Alwi mencontohkan, pendapat seperti itu sejak dulu diikuti oleh ulama salaf, dan terjadi perbedaan karena situasi dan kondisi, serta mengedepankan kemaslahatan umat. ''Pendapat Imam Syafi'i beda ketika di Baghdad dengan di Mesir. Itu melihat kondisi.
Alwi menegaskan, tidak ada rekayasa atas keluarnya fatwa. Itu terjadi secara spontanitas menjawab pertanyaan wartawan, serta masalah khilafiyah murni. ''Ini sudah banyak diplintir untuk mendiskreditkan kiai. PKB tak masalah, dan itu pandangan murni seorang kiai.''
Lebih jauh pada kesempatan itu, menurut Alwi, PKB sekarang dalam kondisi solid mendukung capres Wiranto-Gus Sholah. Hal itu sesuai dengan kesepakatan seluruh DPW dalam pertemuan di Jakarta belum lama ini. ''Kalau ada salah satu orang dukung capres lain, itu masalah pribadi. Itu terjadi di Sumatera yang kebetulan karena sedang ada masalah dengan DPP.''
Pada kesempatan tersebut, Mahfud meluruskan munculnya fatwa itu, karena sekarang telah berkembang menjadi cercaan terhadap sejumlah kelompok kiai yang mempunyai paham berbeda, yang melakukan pertemuan di Pasuruan beberapa waktu sebelumnya.
Sebenarnya, menurut Mahfud, sejumlah kiai PKB yang berkumpul itu menyatakan sepakat mendukung cawapres PKB, yaitu Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang mendampingi capres Wiranto. ''Kiai Subadar menyampaikannya seperti itu,'' ujar dia.
Menurut keterangan Kiai Subadar, saat itu dirinya mendapat pertanyaan soal capres perempuan. Pertanyaan itu dijawab dengan mengatakan, di kalangan ulama NU ada dua pendapat, yaitu boleh dan haram. ''Karena diminta pendapatnya, Kiai Subadar mengatakan, mengikuti yang haram, karena pahamnya seperti itu. Itu kan biasa karena ditanya dan dia mengikuti pendapat yang haram,'' ujarnya.
Sedangkan KH Abdullah Faqih mengatakan, dalam memilih harus ikhtiar dan ikhtiat (hati-hati-Red). ''Kalau sudah dipilih, ya diakui. Begitu jawabannya,'' ujar Mahfud. Apalagi sifatnya adalah fatwa, sehingga yang disampaikan itu tidak mengikat. ''Biasa di kampung-kampung juga begitu. Satu kiai dengan kiai lain beda pendapat.''
Karena itu, Mahfud menginstruksikan agar semua pihak menghentikan cercaan dan upaya mendiskreditkan para kiai yang memiliki pandangan yang berbeda dengan menuduh ada berbagai motif, seperti politis dan seterusnya. Itu tak proporsional,'' tegas Mahfud.
Ahmad Zaenal Arifin Djunaedi yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Wiranto-Gus Sholah menegaskan, pihaknya tidak akan memanfaatkan fatwa itu untuk kepentingan capresnya.
''PKB sudah punya pertimbangan dalam kampanye, yaitu untuk memilih capres yang punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Bukan mengangkat masalah gender.''
Tolak Fatwa
Masih terkait dengan fatwa tersebut, sejumlah perempuan di Semarang secara tegas memprotes keluarnya fatwa yang mengharamkan memilih presiden perempuan. Protes tersebut dilakukan oleh kelompok wanita yang mengatasnamakan eksponen perempuan Semarang, Senin (7/6). Mereka adalah dari kalangan LSM dan perguruan tinggi, di antaranya Nuniek Sriyuningsih sebagai koordinator, Oerip Lestari, Lita Tyesti ALW, dan Wahyuni.
Mereka mengaku aksi tersebut murni menyangkut hak-hak perempuan, dan tidak ada kaitannya dengan capres-cawapres atau parpol tertentu. Namun kenyataannya, berdasarkan SK Tim Kampanye Mega-Hasyim tingkat Jateng, nama-nama sejumlah aktivis perempuan itu masuk dalam struktur tim kampanye tersebut. Nuniek Sriyuningsih tercatat sebagai wakil sekretaris dalam Tim Kampanye Mega-Hasyim tingkat Jateng. Kemudian Oerip Lestari sebagai anggota di pimpinan harian panitia pelaksana.
Dalam aksinya, mereka membawa sejumlah poster. Para perempuan itu mengawali aksinya dari Taman KB dan berjalan menuju Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng yang berada di kompleks Masjid Baiturrahman. Kebetulan, salah satu pernyataan sikapnya ditujukan kepada lembaga tersebut.
Nuniek men