Jakarta, NU Online
Wacana penghentian pemilihan gubernur secara langsung yang dilontarkan oleh Ketua Lemhanas Prof. Dr. Muladi beberapa waktu lalu yang sudah menghilang tampaknya perlu ditindaklanjuti untuk menata sistem pemerintahan Indonesia yang lebih baik.
Ketua PBNU H. Abas Muin mengaku sepakat dengan ide tersebut untuk meningkatkan span of control pemerintah pusat pada pemda di tingkat II. Jika gubernur dipilih langsung oleh presiden, ia berfungsi sebagai kepanjangan tangan untuk melaksanakan kebijakan ditingkat Pemda kabupaten/kota.
<<>font face="Verdana">Akibat otonomi daerah yang berlebihan, banyak bupati/walikota dan kepala dinas yang menolak untuk dipanggil oleh gubernur karena mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat. Kepala dinas di Kab/Kota juga tunduk kepada bupati, bukan kepada dinas ditingkat I sehingga seringkali koordinasi pembangunan menjadi tidak lancar.
Menurut Kang Abas, dengan dipilihnya gubernur, nantinya hanya diperlukan kantor sekretariat besar yang mengurusi hubungan dengan pemda di tingkat II. “Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya DPRD I yang nantinya akan mengurangi banyak ongkos pemerintahan,” katanya.
Beberapa negara seperti Thailand dan Rusia juga telah menghapuskan pemilihan gubernur secara langsung dengan menggantikannya dengan penunjukan oleh presiden.
Sebelumnya Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi juga melontarkan gagasan penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Ada 4 hal yang mendasari pemikiran yang ia akui sebagai pendapat pribadi itu.
Pertama, penyelenggaraan pilkada—apa pun bentuknya: pemilihan gubernur atau pemilihan bupati/walikota—memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian, para pesertanya pun harus memiliki dana yang tidak sedikit pula.
“Kalau salah seorang kontestan pilkada itu tidak punya modal (dana) yang besar, jangan harap dia bakal lolos. Inilah yang kenyataan yang terjadi di lapangan,” ungkap Hasyim saat menjadi pembicara kunci pada diskusi “Perlukah Pilkada Langsung Dihapuskan?”, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (13/3)
Ia menambahkan, salah satu biaya yang tak bisa dinilai kecil jumlahnya yang mesti dikeluarkan oleh seorang peserta pilkada adalah ‘dana konstituen’. Jumlahnya akan semakin besar jika penduduknya juga besar.
“Contoh, di Jawa Timur. Penduduknya itu dua kali lebih banyak dari pada penduduk Malaysia. Nah, bisa dibayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan oleh seorang calon jika dia ikut pilkada di Jawa Timur,” jelas mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jatim itu.
Alasan lainnya adalah rakyat pada umumnya, belum mampu menggunakan konsep demokrasi secara ideal dan lebih memikirkan urusan perut, adanya kelelahan politik akibat banyaknya pemilu yang sampai 6 kali dalam 5 tahun, dan potensi konflik. (mkf)