Balitbang Kemenag

Definisi Kitab Kuning dalam UU Pesantren Mengalami Aktualisasi Makna

Jum, 29 Oktober 2021 | 08:00 WIB

Definisi Kitab Kuning dalam UU Pesantren Mengalami Aktualisasi Makna

Ilustrasi Kitab Kuning.

Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Balitbang Diklat Kementerian Agama, Prosmala Hadisaputra, dalam penelitian berjudul Analisis Kebijakan Pemerintah dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren mengungkapkan, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam juga dapat dilihat dari definisi kitab kuning yang mengalami perluasan dan aktualiasasi makna.


Kitab Kuning, tulis Prosmala, tidak hanya mencakup sebagai kitab turats berbahasa Arab yang ditulis atau dicetak di atas kertas kuning. Namun, Kitab Kuning juga mencakup referensi-referensi keislaman dalam berbagai bahasa (Pasal 1 [Ayat 3]).


Menurut dia, definisi-definisi lama mengenai Kitab Kuning dibandingkan dengan definisi yang diajukan UU Pesantren, memunculkan sejumlah kata kunci tentang pengertian Kitab Kuning, yaitu klasik, produk zaman dahulu atau lampau, ulama, kertas kuning, berbahasa Arab, dan referensi keislaman.


“Kata kunci klasik mengecualikan kitab-kitab keislaman modern, zaman dahulu mengecualikan kitab-kitab kontemporer, ulama mengecualikan kitab-kitab keislaman yang ditulis oleh yang bukan bergelar ulama,” tulis Prosmala dalam laporan penelitiannya.


“Kertas kuning mengecualikan kitab-kitab yang dicetak dengan warna putih, berbahasa Arab mengecualikan kitab-kitab keislaman dalam 5 bahasa selain Arab, dan referensi keagamaan mengeluarkan kitab-kitab yang tidak berbicara tentang tema-tema keislaman,” sambungnya.


Sementara itu, lanjut Prosmala, definisi Kitab Kuning yang diajukan dalam UU Pesantren dapat dikatakan sebagai pengembangan dari definisi Kitab Kuning yang telah disampaikan sebelumnya.


Oleh karena itu, definisi Kitab Kuning dalam UU Pesantren mengakomodasi kitab bermaterial kertas kuning dan putih, karya ulama klasik dan kontemporer, berbahasa Arab dan non-Arab, beraksara Arab dan non-Arab. Penulis memandang bahwa definisi yang diajukan dalam UU Pesantren memiliki nilai politis yang positif. Pemerintah tampak ingin merangkul semua pesantren baik pesantren tradisional, semi modern, dan modern.


Disebutkan juga, selama ini, definisi Kitab Kuning hanya mengarah kepada kitab-kitab yang dipelajari di pesantren-pesantren tradisional dan semi modern. Sementara pesantren-pesantren modern lebih identik dengan Dirasah Islamiyah yang sumber materinya diambil dari kitab-kitab kuning dan buku-buku yang tidak menggunakan Bahasa Arab.


Oleh karena itu, Kitab Kuning tidak lagi dimaknai secara materialnya yang menggunakan kertas kuning dan ditulis dalam bahasa dan aksara Arab. Namun, semua referensi keislaman yang dikaji di pesantren, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa yang lain.


Uraian tersebut merupakan bagian dari pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam di Pesantren yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren.


Terkait dengan kurikulum, peneliti mengutip Arif Mansyuri (2012) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan juga dapat menjadi dasar yang kuat untuk mengembangkan dan membina kepribadian generasi muda.


Secara khusus, tujuan pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dapat dilihat pada keputusan Dirjen Dikti No 43/DIKTI/Kep/2006. Dalam keputusan tersebut, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia dikategorikan ke dalam Mata Kuliah Kepribadian (MPK).


Peneliti menegaskan, arahan pemerintah yang mewajibkan perguruan tinggi termasuk Ma’had Aly untuk memuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bukan tanpa tujuan.


Ma’had Aly dipandang penting oleh negara sebagai lembaga pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan. Karena, lembaga pendidikan adalah salah satu wadah yang dapat digunakan untuk membentuk generasi bangsa.


Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori