Balitbang Kemenag

Mengunjungi Desa Wisata Religi Mlangi

Jum, 27 Juli 2018 | 05:00 WIB

Mengunjungi Desa Wisata Religi Mlangi

Masjid Pathok Negoro Mlangi (gudeg.net)

Jakarta, NU Online
Pada tahun 2017 lalu, Puslitbang Pendidikan dan Keagamaan Balitbang Diklat Kementerian Agama menerbitkan buku Top 10 Ekosantri, Pionir Kemandirian Pesantren. Terdapat 10 pesantren atau lokasi yang kemandirian ekonominya dikupas dalam buku hasil penelitian tersebut, salah satunya di Desa Mlangi.

Disebutkan dalam tulisan Muhammad Murtadho ini bahwa di Desa Mlangi, ada sekitar 16 pesantren. Memasuki wilayah Mlangi, kita menemukan dusun ini dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Warung-­warung biasanya buka sore hari setelah Ashar sampai Maghrib. Buka lagi setelah shalat Isya, bahkan ada warung makanan yang buka setelah jam 23.00 WIB. Jam malam lebih terasa hidup dibanding siang hari. 

Pesantren-pesantren yang kebanyakan salafiyah dalam melaksanakan aktivitas lebih banyak malam hari. Pada pagi hari, saat jam­-jam sekolah formal, Dusun Mlangi terasa lengang.  Waktu wawancara yang seharusnya dijadwalkan pada pagi pun, tulis Murtadho, harus digeser menjadi malam hari. Penulis bahkan diminta bertamu pada jam 21.00 WIB. Malam Jumat akan lebih ramai lagi karena hampir masing-­masing pondok mengadakan acara pembacaan Barzanji dengan memakai alat musik terbang (rebana).

Identitas keislaman penduduk  bukan sesuatu yang dibuat-­buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk. Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju Muslim, dan peci meski tidak hendak pergi ke masjid. Sementara hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan ajaran Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela menjual harta bendanya agar bisa naik haji.

Setiap Ramadhan, dusun ini selalu ramai dengan ritual ibadah yang dijalankan warganya. Mulai  tadarus, pengajian anak-­anak, dan sebagainya. Tak sedikit masyarakat dari luar Mlangi yang datang untuk 'wisata' agama, semacam pesantren kilat. Nah, bila ingin berkunjung ke Mlangi, inilah saat yang tepat. Sepanjang siang selama bulan Ramadhan, anda juga akan melihat betapa akrab anak-­anak bermain petasan. 

Mlangi saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata religi oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. Sebagai gambaran sosio­kultural, Desa Wisata Religi Mlangi didukung oleh keberadaan lima modal sosial dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Pertama, Masjid Pathok Negoro Mlangi merupakan salah satu masjid di Yogyakarta yang disebut­-sebut sebagai pathok negoro bersama-­sama empat masjid yang lainnya. Berturut-­turut kelima masjid Pathok Negoro di Yogyakarta adalah Masjid Jami di Mlangi, Masjid Sultoni di Ploso Kuning, Masjid Ad­darojah di Babadan Baru, Masjid Nurul Huda di Dongkelan dan Masjid Taqwa di Wonokromo Bantul.

Keberadaan masjid pathok negoro di Mlangi menjadi ikon utama desa wisata religi Mlangi. Arsitektur masjid Jami Mlangi pada awalnya sama dengan masjid keraton lainnya. Masjid ini mengikuti gaya arsitektur Jawa dengan banyak penyangga kayu. Dahulu, soko guru masjid ini berjumlah 16 buah termasuk soko utama di ruang utama masjid. Pawestri menjadi tempat khusus sholat untuk kaum putri. Sementara, bagian sisi depan, kanan dan kiri masjid terdapat blumbang (sejenis kolam kecil) yang berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki jamaah sebelum memasuki masjid.

Seiring dengan perkembangan zaman, Masjid Jami Mlangi pun mengalami banyak perubahan. Setelah mendapatkan izin dari Keraton, masjid mengalami beberapa proses renovasi tanpa menghilangkan keaslian bentuk bangunan dari Masjid Jami sebelumnya yakni dengan menjadikannya gedung bertingkat. Konstruksi bangunannya pun diganti dengan pilar­-pilar beton. Sekalipun demikian, mimbar yang ada di masjid ini juga termasuk yang masih asli. Beduk-nya juga menyerupai replika aslinya. Hingga saat ini, masjid jami mempunyai pesona tersendiri yang dapat memikat banyak orang untuk datang baik yang bertujuan shalat maupun berziarah.

Kedua, Ekonomi Kreatif. Di desa Wisata Mlangi, masyarakat secara dinamis dan turun temurun mengembangkan ekonomi mereka berbasis industri rumah tangga. Hampir 90 persen penduduk Desa Mlangi adalah wiraswasta. Mereka berusaha mulai dari usaha konveksi, kerajinan, kuliner, jamu-jamuan, maupun bidang-­bidang yang lain. Banyak produk tercipta dari rumah-­rumah produksi di Mlangi, di antaranya konveksi.

Beberapa usaha konveksi bisa disebutkan seperti celana londo, baju–celana endul, jumput Mlangi, kaos oblong, celana turis, rukuh, mukena, kerudung lukis, hingga kerajinan. Beberapa hasil kerajinan rakyat yang pernah dihasilkan di Mlangi meliputi net voli, net bulu tangkis, jaring gawang, tas raket, bola voli plastik.

Berikutnya, Tradisi Budaya. Dari daftar inventaris tradisi dan budaya masyarakat Mlangi hingga sekarang, Mlangi memiliki berbagai ragam upacara tradisi. Tradisi dan budaya itu telah dijiwai semangat keislaman. Tradisi itu mewarnai masyarakat Mlangi sejak ada dalam janin hingga di wafat. Warga umumnya akan melakukan semacam upacara saat istri­-istri mereka hamil, melahirkan, hingga adanya anggota masyarakat yang meninggal dunia.

Tradisi slametan atau syukuran pun terjadi saat pernikahan, dolanan anak hingga tradisi sunatan dan perkawinan. Adat kebiasaan yang mereka jalankan merupakan kolaborasi tentang keislaman dengan tradisi jawa yang memang sudah dari nenek moyang. Tradisi itu kemudian ditafsirkan dari perspektif islam sebagai upaya untuk menjawab kekinian. 

Keempat, Kesenian. Ketua tim pengembangan Desa Wisata Mlangi, Ihsan, menyebutkan bahwa di desa wisata Mlangi ini terdapat berbagai macam  kesenian rakyat. Hingga sekarang, kesenian ini masih dibudayakan oleh masyarakat setempat. Ragam jenis kesenian tersebut yakni slawatan jowo, kojan, seni rodad, rengeng­rengeng, Berjanjen, hadrah–Ngarak, Simthud Duror dan sebagainya.

Pada saat pengkaji datang, bertepatan dengan malam Jumat, Peneliti mendapati beberapa grup santri di masing-­masing pesantren melakukan pembacaan Barzanji dengan diiringi musik rebana. Suara bersahut-­sahutan antara kelompok satu dengan yang lainnya. Hentakan musik pukul itu terdengar ingar bingar karena datang dari berbagai arah. 

Kelima, Kuliner Khas. Tidak lengkap kiranya di dalam wisata tidak ada kuliner. Di sini bisa ditemukan beraneka macam lauk pauk yang bisa menjamu para wisatawan ketika lapar. Jika  ingin mencicipi makanan yang khas, banyak panganan tradisional diproduksi dari olahan tangan santri maupun masyarakat Mlangi. Salah satu kuliner paling khas adalah opor bebek. Opor bebek khas Mlangi ini konon menjadi makanan kegemaran Sultan Hamengkubuwono IX kalau berkunjung ke tempat itu.

Selain opor bebek, ada beberapa menu santapan yang bisa didapat di desa ini.  Hidangan berbentuk lauk pauk seperti jangan bobor, sego tumpeng sambel pitu, jangan kelontoko, jangan urip­urip, jangan kothok, jangan besengek, uyah salam, brambang salam. Selain itu, tersedia makanan ringan, yakni janagel, trasikan, legondo, lemper, mendut, jadah, wajik, jenang Mlangi, rambak, tetel gedang, carang gesing, krekes, klepon-puthu. (Kendi Setiawan)