Balitbang Kemenag

Nilai Pendidikan Islam dalam Legenda Gunung Pinang

Ahad, 9 September 2018 | 01:45 WIB

Nilai Pendidikan Islam dalam Legenda Gunung Pinang

Tumpukan batu di Gunung Pinang, Serang (histori.id)

Jakarta, NU Online
Legenda Gunung Pinang merupakan salah satu legenda yang berasal dari Serang, Banten. Legenda Gunung Pinang menceritakan seorang janda yang hidup bersama putranya bernama Dampu Awang. Keinginan sang anak yang begitu besar untuk merantau agar dapat mengubah nasib keluarganya. Dengan berat hati, Sang Ibu akhirnya mengizinkan anaknya merantau dengan catatan ia harus memelihara Si Ketut, seekor burung yang sangat mahir mengirim pesan.

Suatu hari datang seorang saudagar kaya, yaitu Teuku Abu Matsyah bersandar di Banten. Dampu berniat ikut bersama kapal tersebut. Karena sikapnya yang jujur, rajin dan pekerja keras, putri Teuku Abu Matsyah tertarik kepada Dampu dan mereka menikah. Dampu lambat laun menjadi saudagar kaya pula. Setelah bertahun-tahun merantau, Dampu pun menyandarkan kapalnya di pelabuhan Banten. Kabar ini membuat Ibunya gembira. Namun, kegembiraan itu lenyap. Saat bertemu Ibunya, Dampu tidak mengakuinya, bahkan menghinanya. 

Ibu Dampu pun berdoa, “Oh Tuhan, jika memang benar pemuda itu bukan putra hamba, biarkanlah ia tetap pergi. Tapi, kalau ia putra hamba, Dampu Awang, berilah ia pelajaran karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Tiba-tiba langit gelap, siang hari itu mendadak menjadi malam yang gelap gulita, petir, kilat, guntur bersahutan. Bahkan menyambar kapal Dampu yang bersandar, hingga terbalik. Kapal itu menjadi Gunung Pinang.

Dalam artikel berjudul Nilai Pendidikan Agama dalam Cerita Rakyat Banten: Legenda Gunung Pinang dan Berbakti kepada Orang Tua, yang ditulis Asep Saefulloh dan dimuat Jurnal Dialog Volume 40, Nomor 2 yang diterbitkan Desember 2017 oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, disebutkan Legenda Gunung Pinang merupakan salah satu karya warisan bangsa yang sangat bernilai. Karena, legenda tersebut mengandung pesan moral yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan masyarakat sekarang.

Sebuah karya merupakan refleksi atas kehidupan manusia. Pesan di dalamnya dapat berupa nilai, pikiran, dan falsafah yang hendak disampaikan kepada masyarakat hinggap dapat membentuk sikap dan moral mereka. Pada gilirannya juga diharapkan mampu memberikan andil bagi proses perubahan ke arah yang lebih baik. 

Legenda Gunung Pinang bisa menjadi popular karena kondisi masyarakat setempat saat itu sedang mengalami kemerosotan moral. Mungkin pada saat itu sedang terjadi banyak kasus anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya dan melupakan orang tuanya ketika si anak telah sukses merantau jauh. Dari hal demikian dibuatlah cerita rakyat yang mengaitkan dengan keadaan alam sekitar seperti gunung, pulau, bukit yang menyerupai bentuk benda-benda nyata seperti kapal, yang bertujuan untuk memberikan kesan moral positif kepada anak-anak agar tidak menjadi durhaka kepada orang tuanya. 

Nilai-nilai yang terdapat dalam Legenda Gunung Pinang dari perspektif pendidikan agama Islam, setidaknya dapat dilihat dari dua nilai, yaitu nilai keimanan dan nilai akhlak. Nilai pendidikan tersebut didasarkan pada pokok ajaran Islam, yang secara garis besar terdiri dari tiga hal, yaitu: iman, Islam, dan ihsan. Iman terkait dengan akidah atau keyakinan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai turunannya. Islam menyangkut syariah atau ibadah, tata cara menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt sebagaimana diajarkan para nabi dan rasul-Nya. Sedangkan ihsan adalah perilaku baik atau akhlak yang mulia, baik terhadap Allah Swt, sesama makhluk, maupun alam semesta. 

Berikutnya nilai keimanan, disebutkan setiap agama memiliki keyakinan akan adanya Tuhan. Nilai ini merupakan nilai keimanan atau dalam Islam disebut nilai akidah, yang meliputi bentuk kepercayaan atau keyakinan seseorang akan keberadaan, kebesaran, dan kemahakuasaan Allah Swt. Dari Legenda Gunung Pinang di atas dapat diketahui bahwa ibu Dampu Awang mempunyai kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sebagaimana terlihat saat ia marah karena Dampu Awang tidak mengakuinya sebagai ibunya, karena ibunya tidak kuasa menahannya maka ia menyerahkannya kepada Allah. 

Allah Yang Maha Kuasa disebutkan dalam Al-Qur’an antara lain dalam Surah Al-Mukminun ayat 116, yang artinya, "Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang memiliki) ‘Arsy yang mulia." Selain itu, kekuasaan Tuhan dapat terdapat pula dalam Surah Bad ayat 66, yang artinya, "Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa, Maha Pengampun."

Dari ayat-ayat Allah di atas dapat diketahui bahwa Allah adalah Penguasa langit dan bumi seutuhnya; Tidak ada kekuatan yang melebihi Dia. Allah dapat mendengar dan melihat apapun yang dilakukan oleh hamba-Nya. 

Selain nilai akidah, dalam Legenda Gunung Pinang, terdapat nilai akhlak yang sangat penting dan harus menjadi pelajaran, khususnya bagi anak-anak terhadap orang tua mereka. Nilai akhlak yang dapat diambil dari legenda ini antara lain sabar. Sabar adalah tahan menghadapi penderitaan dengan keridaan dan kepasrahan kepada Allah. Rasulullah Saw bersabda, "Sabar adalah penerang." (H.R. Muslim).

Allah Swt akan menguji manusia, apalagi seorang Mukmin, dengan berbagai cobaan, baik kesenangan maupun kesedihan. Cobaan ada untuk mengetahui siapakah di antara mereka yang bersabar dalam menghadapi ujian tersebut. Allah Swt berfirman, "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, 'Innâ lillâhi wa innâ ilahi râji‘ûn' (Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."

Muhammad Al-Ghazali menyebutkan, sabar setidaknya dapat dilihat dalam tiga keadaan, yaitu sabar dalam menjauhi kejahatan, menahan diri untuk menghindarkan dari perbuatan jahat, tidak memperturutkan hawa nafsu, menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menjerumuskan ke dalam kehinaan dan merugikan orang lain. Kedua, sabar dalam menahan kesusahan ketika menjalankan kewajiban, yakni sabar dalam beribadah. Ketiga, sabar dalam perjuangan, menahan diri untuk tidak berpaling dari perjuangan menegakkan kebenaran. (Kendi Setiawan)