Balitbang Kemenag

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Agama Anak

Rab, 8 November 2017 | 12:30 WIB

Jakarta, NU Online
Pada 2016 Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Pendidikan Agama dan Keagamaan (Penda) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia (RI) meneliti tentang bagaimana pendidikan Agama pada keluarga sebagai pendidikan informal.

Hal tersebut karena berbagai sumber menyatakan bahwa orangtua (keluarga) belum berperan dalam pendidikan agama putra-putrinya, di antaranya pernyataan Khofifah Indar Parawangsa, bahwa penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar dan seks bebas menunjukkan peran pendidikan agama dalam keluarga belum sepenuhnya dilakukan oleh orangtua dan lemahnya kontrol dan prinsip keteladanan orangtua tidak terbangun sejak dini. 

Padahal, ayah-Ibu, sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga memegang peranan penting dan strategis dalam mendidik anak-anaknya. Ini berarti pendidikan dalam keluarga sangat menentukan baik dan atau buruknya pendidikan terhadap anak. 

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).

Rasulullah Saw dalam sebuah hadistnya bersabda, “Tidak  ada seorang anak Bani Adam, kecuali dilahirkan di atas firtahnya, (jika demikian) maka kedua orangtuanya itulah orang mengyahudikan, atau menasranikan atau memajusikannya, ...” (Muttafaqun ‘alaih). 

Dalam hadist yang lain Rasulullah Saw bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu bershalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau bershalat ketika berusia sepuluh tahun,” (HR. Abu Daud, Al Turmuzi, Ahmad dan Al Hakim).

Makna yang terkandung dalam firman Allah dan hadits di atas sejalan dengan pendapat Dr. Decroly seorang ahli pendidikan yang menyatakan bahwa, 70 % dari anak-anak yang jatuh kedalam jurang kejahatan itu berasal dari keluarga-keluarga yang rusak kehidupannya.

Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fachrudin, menjelaskan bahwa kebiasaan/perilaku anak dipengaruhi oleh kesibukan orang tua sehari-hari. Dari 100 persen responden diperoleh kedua orangtua yang bekerja, 60 % anak cenderung memiliki moral dan kepribadian sedang, 30 % memiliki kepribadian buruk dan hanya 10 % yang memiliki kepribadian baik. Bagi orang tua yang ibunya tidak bekerja cenderung memiliki moral kepribadian baik dan mendekati sangat baik.

Oleh karena itu, orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk moral kepribadian anak, yaitu melalui pendidikan yang dipraktikkan melalui sikap perbuatan/teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang tua beranggapan bahwa pendidikan dalam keluarga tidak perlu lagi setelah pendidikan anaknya diserahkan kepada sekolah (pendidikan formal). 

Orangtua seperti ini mungkin lupa atau tidak menyadari, kewajiban dan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya terletak pada orang tua. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar waktu anak-anak berada di rumah, sedangkan di sekolah paling lama hanya tujuh jam. Keberadaan sekolah sebagai tempat pendidikan untuk anak menempati urutan kedua setelah keluarga (orang tua) dilanjutkan dengan lingkungan atau masyarakat yang membentuk pendidikan seorang anak setelah orang tua dan sekolah. 

Sementara itu, pendidikan yang paling utama dalam membentuk moral kepribadian anak adalah pendidikan agama. Pendidikan agama di sekolah hanya diberikan dua jam pelajaran. Dengan alokasi waktu tersebut, tidak akan mampu membentuk anak berperilaku baik. 

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaelani yang menyatakan bahwa, pendidikan agama Islam merupakan fondasi dalam keluarga untuk membentuk perilaku dan moral anak-anak dan mengetahui batasan baik dan buruk, dan berfungsi untuk membentuk manusia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT.

Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui visi misi orang tua dalam mendidik anaknya dan peran orangtua dalam pendidikan agama pada keluarga, serta strategi orangtua dalam menginternalisasikan pendidikan agama pada keluarga. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)

Baca Kajian Keislaman lainnya DI SINI