Balitbang Kemenag RISET BALITBANG KEMENAG

Tradisi Pembukuan Mushaf Al-Qur’an di Indonesia

Ahad, 30 Agustus 2020 | 12:00 WIB

Tradisi Pembukuan Mushaf Al-Qur’an di Indonesia

Penting dipahami bersama bahwa upaya pembukuan mushaf Al-Qur’an merupakan bagian dari upaya pengyimpanan untuk menjaga dan memelihara Al-Qur’an itu sendiri.

Al-Qur'an adalah kitab samawi yang tidak pernah mengalami perubahan dan pergeseran makna. Al-Qur'an yang diyakini oleh umat Islam sebagai kitab pedoman yang kekal ini memiliki tingkat keterpeliharaan tinggi. Berbagai upaya penyalinan mushaf Al-Qur'an juga dilakukan di Nusantara sejak masa Kesultanan dan pusat-pusat pendidikan Islam masa lalu hingga akhir abad ke-19.

 

Hal ini seperti tertuang dalam hasil penelitian Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2019. Penelitian Mushaf Al-Qur’an Cetak di Indonesia menyebutkan tradisi pembukuan mushaf Al-Qur'an selalu mengalami penyesuaian dengan perkembangan tekonologi pada masanya.

 

"Seiring dengan perkembangan teknologi cetak, tradisi penyalinan manual secara berangsur-angsur beralih ke teknologi cetak. Berbarengan dengan tradisi penyalinan mushaf secara manual, sejak pertengahan abad ke-19 mushaf Nusantara mulai dicetak, menggunakan teknik cetak batu (litografi). Dari bukti yang ada, di Nusantara, mushaf cetakan tertua dicetak di Palembang oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, tahun 1848 dan 1854. Sejauh yang diketahui hingga kini, inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara sekaligus termasuk di antara yang tertua di dunia Islam," tulis para peneliti dalam laporannya.

 

Diketahui, pada tahun 1870-an, di Nusantara juga telah beredar secara luas mushaf cetakan Singapura, dan disusul cetakan Bombay (atau Mumbai, India) sejak sekitar 1880-an. 

 

Bukti luasnya peredaran mushaf cetakan Singapura ditemukan di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Jakarta, Surakarta, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Tengah, hingga Maluku. Sedangkan peredaran mushaf cetakan Bombay ditemukan di Palembang, Demak, Madura, Lombok, Bima, dan Filipina Selatan. Bombay, kota di pantai barat India, sejak akhir abad ke-19 memang merupakan pusat percetakan buku-buku keagamaan yang diedarkan secara luas ke kawasan Asia Tenggara.

 

Dengan demikian, pada masa selanjutnya, tidak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan Nusantara, dimulai dengan mereproduksi mushaf cetakan India itu. Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga tahun 1970-an. 

 

Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan penting. Pertama, mushaf Al-Qur’an Standar Indonesi sejatinya memiliki sejarah yang panjang. Sejarah tersebut dimulai dari hadirnya manuskrip-manuskrip Al-Qur’an yang disalin oleh kalangan profesional maupun kalangan masyarakat biasa yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. 

 

Kedua, sejarah penyalinan mushaf berlanjut pada mushaf dalam bentuk cetak batu, litograf yang berada di Palembang dan Singapura. Ketiga, sesudah litigraf, pencetakan Al-Qur’an berlangsung dengan beredarnya mushaf cetak dari berbagai negara, seperti India, Turki, Singapura, dan Mesir. 

 

Keempat, dari beberapa mushaf luar negeri yang beredar di Nusantara pada waktu itu, penerbit generasi awal seperti Afif dan Matbaah Bukit Tinggi lebih memilih model cetakan Bombay, India, karena model ini memiliki karakter huruf yang besar, sehingga mudah dilihat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah tanda baca yang memudahkan masyarakat Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar

 

Kelima, bisa dipahami jika hampir semua penerbit generasi pertama dan bahkan selanjutnya lebih memilih model Bombay ketimbang yang lain. Penting dipahami bersama bahwa upaya pembukuan mushaf Al-Qur’an merupakan bagian dari upaya pengyimpanan untuk menjaga dan memelihara Al-Qur’an itu sendiri.
 

 

Penulis: Rifatuz Zuhro

Editor: Kendi Setiawan