Daerah

Ajaran Sunan Muria, Pagar Mangkuk Budaya Jogo Tonggo 

Jum, 6 November 2020 | 23:00 WIB

Ajaran Sunan Muria, Pagar Mangkuk Budaya Jogo Tonggo 

Pagar Mangkuk, Budaya Jogo Tonggo yang diajarkan Sunan Muria Kudus (Foto: NU Online/M Farid)

Kudus, NU Online  
Bagi masyarakat lereng Muria, Jawa Tengah, jogo tonggo bukan lagi istilah baru. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 menyerang, jogo tonggo sudah terlebih dahulu mengakar sebagai laku budaya yang diajarkan oleh Raden Umar Said atau Sunan Muria.

 

Menurut Pemangku Adat Muria Masthur (68), Sunan Muria memiliki filosofi ajaran Pagarono Omahmu Kanti Mangkuk (Pagarilah Rumahmu dengan Mangkuk). Maksudnya, sejak dulu masyarakat kawasan Muria dan sekitarnya telah diajarkan untuk ringan tangan membantu apa yang dibutuhkan orang lain, utamanya tetangga terdekat.

 

Lebih lanjut Masthur menjelaskan bahwa Mangkuk yang dimaksud dalam ajaran Sunan Muria itu adalah simbol sedekah. Versi lain menyebutkan perintah pagar mangkuk Sunan Muria itu merujuk pada imbauan untuk melindungi orang-orang di sekitar kita, orang-orang terdekat kita ibarat satu mangkuk.

 

"Maka sebenarnya 'Pagar Mangkuk' inilah yang menjadi esensi utama jogo tonggo," jelas Masthur kepada NU Online  di rumahnya, Kamis (05/11).

 

Masih menurut Masthur, ajaran Pagar Mangkuk ini diklaim tidak hanya bisa menguatkan nilai sosial masyarakat secara lahiriah tetapi juga batiniyah. Pasalnya, laku Pagar Mangkuk ini mensyaratkan beberapa nilai positif yang bisa mendorong guyub rukun warga tanpa terkecuali. 

 

"Nilai-nilai seperti keikhlasan, kemauan untuk saling bersimpati, tepo seliro dan asah, asih, asuh menjadi lekat sebagai laku hidup sehari-hari. Istilah sederhananya, warga jadi saling mengerti, saling menjaga diri dan selalu berusaha untuk baik kepada sesama," ujar dia.

 

Hal tersebut dibuktikan manakala pandemi Covid-19 mulai menyerang Indonesia pada Maret 2020 lalu. Ketika itu masyarakat lereng Muria sudah siaga dengan iktikad untuk saling menjaga sesamanya agar tidak tertular virus. Hampir di semua desa yang ada di kawasan lereng Muria melakukan penyemprotan disinfektan keliling ke rumah warga dan fasilitas umum.

 

Selain itu, warga juga secara sadar diri untuk tidak mudik pada saat libur panjang Idul Fitri 1441 H. Meski ada sebagian kecil yang tetap mudik karena alasan mendesak, namun mereka tetap melakukan karantina mandiri selama 14 hari sebagai bentuk jaga diri serta sadar situasi dan kondisi. 

 

"Jikalaupun ada yang membandel dan tidak melakukan karantina mandiri, masyarakat sekitar secara kompak membatasi diri untuk berinteraksi dengan orang tersebut," ucapnya.

 

"Akhirnya mau tidak mau orang itu tetap sadar untuk karantina mandiri. Baru setelah masa karantina itu selesai, kami yang awalnya tadi membatasi diri kemudian segera meminta maaf dan menjelaskan maksud serta tujuan agar tidak terjadi salah paham yang berkepanjangan,” sambung pemuda Kampung Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe, Muchammad Ulul Azmi.

 

Meski sudah melakukan ikhtiar demikian, Desa Lau sendiri tidak lantas sepenuhnya menjadi zona hijau. Pada awal Ramadhan 1441 H, Desa Lau sempat turun statusnya menjadi zona oranye. Hal itu sebab ada salah satu warganya yang tidak sengaja tertular virus sesaat setelah memeriksakan kandungan ke salah satu rumah sakit yang ada di Kota Kudus.

 

Kendati begitu, imbuh Ulul, warga tidak lantas panik atau mengucilkan keluarga yang tertular. Sebaliknya, warga justru berbondong-bondong membantu keluarga tersebut dengan mengirimkan sembako ke rumahnya. Tujuannya tentu agar keluarga korban Covid-19 tetap merasa diperhatikan dan tetap tenang selama masa isolasi.

 

"Begitulah kami mengimplementasikan Jogo Tonggo, padahal saat itu istilah dan program Jogo Tonggo belum ada. Mungkin karena spirit Pagar Mangkuk yang mengakar dalam benak warga itu kali ya?” kata Ulul Azmi.

 

Senada dengan Ulul, praktisi seni dan budaya lereng Muria Muchammad Zaini menyebut laku Pagar Mangkuk ajaran Sunan Muria sebagai solusi ketahanan nasional. Bukan hanya dalam bidang pangan, tapi juga ekonomi dan sosial. 

 

Menurutnya, itu salah satu pemikiran Sunan Muria yang relevansinya tidak akan habis oleh zaman. Ia bahkan meyakini bila seluruh masyarakat di suatu desa mau menerapkan ajaran Pagar Mangkuk itu saja sudah cukup untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

 

"Guyub rukun yang dihasilkan dari implementasi ajaran Pagar Mangkuk itulah kekuatan asli bangsa Indonesia," tandas Zaini di Sanggar Seni miliknya, Kamis (05/11).

 

Tidak hanya itu saja, Zaini menambahkan, masih banyak ajaran dan kearifan budaya Nusantara lain yang bila kita mau menggalinya akan luar biasa untuk dijadikan pedoman hidup. Pagar Mangkuk itu hanya salah satunya, padahal Sunan Muria juga punya ajaran Tapa Ngeli, Tembang Macapat Sinom, dan Kinanthi

 

"Itu semua bisa dimaknai agar laku hidup, kebijakan, dan kebijaksanaan kita bisa sesuai dengan kondisi alam dan masyarakatnya," pungkasnya. 

 

Kontributor: M Farid
Editor: Abdul Muiz