Daerah

Bagai Bangunan Rumah, Hubungan antara Iman Islam dan Ihsan

Sen, 21 Mei 2018 | 03:40 WIB

Bagai Bangunan Rumah, Hubungan antara Iman Islam dan Ihsan

KH Syaikuddin Rahman, Blitar

Blitar, NU Online
Iman, Islam dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah SWT. 

"Ibarat bangunan rumah, iman sebagai fondamennya. Islam sebagai tembok dan bangunan lainnya. Sedangkan Ihsan adalah atap dan ornamen lainnya. Jadi ketiganya adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan," ujar KH Syaikuddin Rahman saat kajian Aswaja di Masjid Al-Musthofa Bakung Udanawu Blitar, Senin (21/5) tadi pagi.

Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, lanjut Wakil Ketua PCNU Kabupaten Blitar ini,  para ulama mengelompokkannya lewat tiga cabang ilmu pengetahuan.

Pertama Iman dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yg menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan (aqidah). Kedua, Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba Allah. Sedangkan untuk mempelajari Ihsan sebagai tata cara beribadah adalah bagian dari ilmu (Tasawuf) melalui thariqah.

Kiai Syaikuddin menjelaskan, Iman adalah keyakinan dalam hati yang diucapkan oleh lisan dan diwujudkan dalam amal perbuatan.Keyakinan tersebut meliputi enam rukun iman, yaitu iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab, iman kepada Nabi dan  rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada, qadla dan qadar.

“Keenam rukun iman tersebut adalah bentuk amal batiniah sebagai wujud pengakuan hati manusia terhadap kebesaran Allah SWT. Yang nantinya akan mempengaruhi segala aktifitas yang dilakukan. Manusia adalah makhluk dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada. Keimanan akan membawa manusia ke titik penyadaran diri sebagai hamba Allah yang tunduk di bawah kekuasaan Allah SWT," terangnya.

Ketika keyakinan terhadap keenam rukun tersebut sudah tertanam dalam hati, maka lanjut Kiai Syaikuddin, tentu kita akan berusaha untuk menjalani kehidupan sesuai dengan koridor hukum Allah yang pada akhirnya akan membawa ke arah kehidupan yang berkualitas. 

“Maka fondamen itu harus kokoh dan sangat penting ditanamkan kepada anak-anak kita sedini mungkin, misalnya dengan mempelajari Kitab Aqidatul Awam," jelasnya.

Sedangkan Islam, dijelaskan dengan penjabaran lima rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu.

Pertama syahadat. Syahadat merupakan kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kedua, Shalat merupakan bentuk hubungan vertikal secara langsung antara hamba dengan Sang Khalik.

Ketiga, Zakat adalah wujud kepedulian sosial terhaadap sesama manusia. Keempat Puasa merupakan ujian melawan hawa nafsu. Dan kelima Haji adalah ajang mempererat ukhuwah Islamiyah dengan sesama saudara muslim dari seluruh dunia.

"Kelima rukun tersebut merupakan amal lahiriah sebaga perwujudan dari makna Islam itu sendiri, yaitu kepasrahan diri secara total kepada Allah. Artinya, kepasrahan sebagai makna Islam tidak hanya disimpan dalam hati, melainkan diwujudkan lewat perbuatan nyata yaitu kelima rukun Islam tersebut. Dan ini dipelajari melalui ilmu fiqih," katanya.

Lalu Ihsan. Menurut lulusan pesantren Lirboyo Kediri ini, Ihsan adalah  cara bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah SWT. Rasulullah mengajarkan agar ibadah kita dilakukan dengan cara seolah-olah saat ibadah kita berhadapan secara langsung dengan Allah. Cara ibadah ini akan membawa ibadah kita ke maqom (tingkat) yang lebih dekat kepada Allah dengan perasaan penuh harap, takut, khusyu’, ridlo, dan  ikhlas kepad Allah SWT. 

"Perasaan tersebut menjadikan ibadah yg kita lakukan tdk hanya sekadar menjadi kewajiban, tetapi merupakan kebutuhan jiwa dalam penghambaan diri kepada Allah," jelasnya.

Dikatakan, jika cara tersebut belum bisa dilakukan, maka ibadah dilakukan dengan keyakinkan bahwa Allah pasti melihat dan mengetahui semua yang dilakukan. Dengan demikian, tentu manusia akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. (Imam Kusnin Ahmad/Muiz)