Dekat dengan Kiai, Obat Terbaik Hadapi Kejenuhan Duniawi
NU Online · Ahad, 25 April 2021 | 02:30 WIB
Muhammad Aiz Luthfi
Kontributor
Cirebon, NU Online
Perkembangan dunia yang semakin canggih dan bersifat materialistis cenderung melupakan dimensi ruhani dalam diri manusia. Padahal sebagaimana jasad, ruhani pun butuh nutrisi dan suplai makanan agar kondisi jiwanya bisa tetap sehat dan stabil. Jika tidak demikian maka akan menimbulkan kejenuhan atas hiruk pikuk keduniaan.
“Zaman semakin canggih harusnya kita semakin santai dan banyak waktu karena kerja kita sudah dibantu oleh mesin. Tapi kalau kita perhatikan ternyata aktivitas dan kesibukan kita malah semakin banyak dan meningkat,” kata KH Tb Ahmad Rifqi Chowas dalam kajian kitab Minhajul `Abidin karya Imam Al-Ghazali, Jumat (23/4) malam.
Pada saatnya nanti, sambungnya, jika kesibukan ini dilakukan secara terus menerus namun tidak diimbangi dengan aktivitas ruhani maka akan bertemu dan mengalami titik jenuh. Bagi sebagian orang, cara menghilangkan kejenuhan tersebut adalah dengan hiburan yang sebenarnya bersifat fatamorgana.
“Maka cara ideal dan terbaik untuk menyelamatkan diri dari kejenuhan dan hiruk pikuknya godaan dunia fana adalah dengan mendekati ulama dan menimba ilmu dari mereka,” ungkapnya di depan ratusan santri Buntet dan santri luar yang sengaja ikut ngaji pasaran di Pesantren Darussalam, Buntet Pesantren Cirebon tersebut.
Ulama dalam konteks ini, sambungnya, adalah ulama atau kiai yang aktif menyampaikan ajaran Islam di pesantren terlebih lagi ajaran tasawuf. Dalam kitab Minhajul Abidin, pesantren semacam ini disebut dengan istilah Ribâtush-Shûfiyyah.
"Mesantren atau mondok tidak lepas dari ajaran tasawuf dan hal itu merupakan at-thariqatul mutsla atau cara ideal menyelamatkan diri dan keluarga dari kehidupan yang terkontaminasi hedonisme dan mendewakan duniawi yang sementara ini,"paparnya.
Muqodam Tarekat Tijaniyah ini menambahkan bahwa berkumpul dengan ulama atau kiai dan ikut serta dalam pengajiannya di pesantren akan mendapatkan banyak manfaat dan faedah.
“Diantaranya bisa menambah dan meningkatkan ilmu sekaligus bisa menggenjot semangat ibadah sehingga bisa meminimalisir godaan setan dan godaan material duniawi,”imbuhnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa semangat dalam beragama harus seimbang dengan ilmu. Pasalnya, setan sangat menyukai orang yang punya semangat beragama namun ilmu agamanya sedikit.
“Sebab beramal tanpa ilmu akan memudahkan setan untuk membelokkan seseorang ke jalan yang tidak diridlai oleh Allah,”pungkasnya.
Kontributor: Aiz Luthfi
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua