Daerah

Gatot Arifianto: Mencintai NU Harus menjadi Gerak Positif

Sel, 10 Juli 2018 | 05:00 WIB

Gatot Arifianto: Mencintai NU Harus menjadi Gerak Positif

Gatot Arifianto, Ketua GP Ansor Waykanan (Foto: Ist.)

Waykanan, NU Online
Berkhidmah di GP Ansor yang memiliki badan semi otonom Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ialah jalan merayakan kemanusiaan, kebangsaan dan belajar memahami agama Islam Rahmatan lil Alamin.

"Saya menikmati dan mensyukurinya. Saya bisa mengenal banyak orang, bisa berbagi pengetahuan. Bisa mengekspresikan hobi positif dan yang terpenting ialah menimba ilmu dari ulama Nahdlatul Ulama," ujar Ketua GP Ansor Way Kanan, Lampung, Gatot Arifianto, Senin (9/7) kepada NU Online.

Sejak masuk dalam struktural NU dan mengikuti sejumlah kaderisasi internal NU, praktisi  Neuro Linguistic Programming (NLP) ini mengaku cara pandangnya mengenai Islam banyak berubah.

"Dulu saya menilai Islam bertentangan dengan nasionalisme. Kenapa? Kakek saya tentara, Serka Elyas Harahap ditembak mati Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Itu mengakar kuat di kepala saya. Walau saya ikut belajar mengaji, tahlilan, yasinan dari mulai kecil, tetap saja hal itu membuat saya tidak nyaman karena belum ketemu yang bisa memberi kejelasan hubungan Islam dengan Nasionalisme,” ujarnya pemilik gelar adat Lampung Ratu Ulangan itu.

Pasca mengikuti kaderisasi Ansor, organisasi pemuda yang aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, pandangan penggemar wayang  kulit ini pun mulai berubah. Ia mulai memahami Islam dan Nasionalisme sejalan, klop dan tidak bertentangan, seperti disampaikan Khadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.

“Saya perlu menebus kekeliruan pandangan salah yang lama saya miliki dengan berpartisipasi aktif dalam kaderisasi,” tekadnya.

Ia pun mengikuti jenjang kaderisasi di Ansor, Banser, PKPNU hingga Madrasah Kader dan sampai akhirnya mantan Direktur Life Identity Institute yang bergerak di bidang motivasi building ini terlibat sebagai instruktur sampai dengan saat ini.

“Saya seperti menemukan sesuatu yang selama ini tidak ketemu setelah mengikuti kaderisasi demi kaderisasi NU,” ujar alumni Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) Yayasan Satu Nama, Yogyakarta yang juga mengikuti sejumlah Training of Trainers (TOT) berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.

Insya Allah saya tidak capek berkhidmah di NU. Pengetahuan bisa saya bagi akan saya bagi. Kader NU yang mau belajar video editing, menulis skenario, penyutradaraan, fotografi, menulis berita, puisi, opini dengan saya juga boleh,” ujar pria kelahiran Purworejo, 23 Januari 1979 yang sempat mengenyam pendidikan sinema di Akademi Seni Drama dan Film Indonesia Yogyakarta itu.

Semangat dalam melakukan kaderisasi tentu dengan harapan generasi muda tidak gagal paham dengan Islam dan Nasionalisme.

Jika sedang tidak ada kegiatan kaderisasi, instruktur Satkornas Banser yang merupakan penulis dan penekun keilmuan budaya nusantara ini, seringkali mengajak kader Ansor, Banser, IPNU, IPPNU, PMII di sejumlah daerah, menggelar pelatihan menulis atau bakti sosial (baksos) penyembuhan alternatif penyakit medis dan non medis Aji Tapak Sesontengan (ATS) bagi masyarakat secara cuma-cuma.

"Kalau ada infaq saat baksos, biasanya kita rancang untuk disalurkan ke anak yatim piatu, sekolah, pembelian kitab suci Al-Quran atau untuk sedekah pohon untuk ditanam,” ungkap Koordinator Gusdurian dan Manajer Bimbingan Belajar Pasca Ujian Nasional (BPUN) Lampung itu pula.

Bagi Asinfokom Satkornas Banser itu, mencintai NU harus menjadi gerak positif. Kader NU harus terus menyatakan diri, bahwa kita tidak saja bergerak di dalam organisasi, namun juga keluar, memberi manfaat bagi publik.

"Insya Allah ada berkah kita dapatkan dari semua itu,” pungkasnya. (Muhammad Faizin)