Daerah

Guru Besar IAIN Jember: Fiqih Nusantara Menguatkan NKRI dan Pancasila

Kam, 23 Juli 2020 | 11:30 WIB

Guru Besar IAIN Jember: Fiqih Nusantara Menguatkan NKRI dan Pancasila

Guru besar IAIN Jember, M Noor Harisudin. (Foto: NU Online/istimewa)

Jember, NU Online
Menulis merupakan luapan ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya. Tulisan mampu memberikan kepuasan bagi penulis tersebut, serta karya yang ada memberikan inspirasi, wawasan serta referensi bagi masyarakat. Walaupun saat ini e-book telah menjadi jalan alternatif bagi para pembaca, namun koleksi buku yang terpajang rapi tetap menjadi primadona. 

 

Beragamnya media sosial merupakan salah satu cara untuk mempromosikan buku. Memberikan informasi detail dan mampu berinteraksi kepada masyarakat ialah senjata utama untuk menyampaikan secara interaktif kepada pembaca ialah dengan diadakannya bedah buku. 

 

Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (Aspirasi). Dengan menggandeng Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Lumajang dan Lembaga Dakwah PBNU serta didukung PMII Komisariat IAIN Jember dan UKPK IAIN Jember menyelenggarakan bedah buku secara daring. Yang dikaji adalah buku ‘Fiqh Nusantara’ karya M Noor Harisudin, Rabu (22/7).

 

“Fiqih Nusantara merupakan fiqih yang berkembang di Indonesia dengan karakternya yang khas sesuai dengan adat istiadat ke-Indonesiaan,” kata Profesor Haris, sapaan akrabnya. 

 

Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember tersebut memaparkan metode fiqh Nusantara yakni Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Juga disampaikan bagaimana seharusnya wawasan fiqih nusantara, Pancasila dan sistem hukum terkait dengan ilmu fiqih. 

 

Pemaparan terus dilanjutkan terkait formulasi fiqih Nusantara serta skema perubahan hukum Islam di Indonesia. Termasuk diktum hukum atau fatwa, illat hukum, konsep dan fakta. 

 

“Salah satu inti buku ini, bahwa fiqih Nusantara menguatkan NKRI dan Pancasila, bukan melemahkannya,” ujar guru besar di IAIN Jember yang juga Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut. 

 

M Imdadun Rahmat sebagai pembanding memberikan tanggapan positif yakni menganalogikan bahwa buku fiqih Nusantara ibarat telepon yang canggih, kecil namun menarik. 

 

“Mengibaratkan buku fiqih Nusantara seperti telepon yang canggih dan kecil, tapi isinya lengkap dan menarik,” kata Ketua Komnas HAM periode 2012 hingga 2017 tersebut.
 

Dijelaskannya bahwa fiqih Nusantara juga kuat dalam metode istinbat, serta menjelaskan tentang pentingnya lokalitas kepada masyarakat di Indonesia. 

 

“Isi buku ini lebih eksklusif dan efektif untuk mengajak organisasi masyarakat untuk memahami Islam Nusantara secara mendalam, Juga mengajak ormas lain menyelami fiqih dan Islam Nusantara,” urainya. 

 

Sedangkan pembanding kedua, Abdul Mukti Thabrani mengatakan bahwa buku layak diacungi jempol, karena pembahasannya renyah jika dibaca dan dipahami. Ia juga mengakui bahwa buku tersebut mampu mengalahkan karya Prof Mahmud Zuhri yang menulis tentang fiqih Malaysia. 

 

KH M Nur Hayyid sebagai pembanding berikutnya memberikan tanggapan juga masukan yakni dalam buku harus dijelaskan makna fiqih secara umum atau khusus. Juga perlu diperluas seperti karya Imam Hanafi agar menjadi sebuah buku yang mendunia.

 

“Dan hal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat terutama kepada kalangan awam, serta menekankan epistemologi, ontologi dan juga aksiologi,” katanya. 

 

Disampaikan pula bahwa dalam buku harus ada strategi Islam dan fiqih Nusantara dalam memberikan pemahaman. Selebihnya, buku ini menurutnya sangat menarik karena mampu menjawab tepisan dari ormas yang berbeda paham dengan NU tentang Islam dan fiqih Nusantara. 

 

Suasana diskusi semakin menarik saat pemandu yakni KH Abdul Wadud memberikan kesempatan bertanya kepada peserta bedah buku. Di antara yang berkesempatan adalah Dekan IAIN Ternate, dosen IAIN Madura, Mataram dan dari berbagai elemen masyarakat. 

 

Walaupun dilaksanakan menggunakan aplikasi Zoom, peserta sangat antusias. Acara diikuti lebih dari 200 peserta dari berbagai provinsi, termasuk dari Mesir. 

 

Kontributor: Wildan Rofikil Anwar dan Endang Agoestian

Editor: Ibnu Nawawi