Daerah

Gus Dur, Wali Kesepuluh?

NU Online  ·  Jumat, 10 Mei 2013 | 10:22 WIB

Sleman, NU Online
Ketika berbicara tentang Walisongo, maka yang akan muncul dalam benak tentu sembilan wali yang telah menyebarkan ajaran Islam di Indonesia. 
<>
Akan tetapi, belakangan kerap muncul wacana bahwa Gus Dur patut untuk dijadikan sebagai wali kesepuluh, setelah sembilan wali tersebut. Tentu hal ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Ada yang sepakat, ada yang hanya sepakat sebagai wali saja–bukan wali kesepuluh–dan ada yang menolak.

Fenomena Gus Dur sebagai wali kesepuluh itulah yang menjadi bahan diskusi mingguan di Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta, Kamis malam (9/5), dengan pemateri Azzam Anwar, yakni santri Pesantren Aswaja Nusantara yang telah melakukan penelitian terkait fenomena itu. 

Penelitian tersebut, dikatakan Azzam, berawal dari fenomena semakin banyaknya para peziarah yang datang di makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dengan perkiraan sekitar 7000 peziarah dalam satu hari. Dan diperkuat dengan pernyataan Prof Dr Yudian Wahyudi pasca tujuh hari meninggalnya Gus Dur, yang mengatakan bahwa Gus Dur itu layak dikatakan sebagai wali kesepuluh, lantaran prestasinya yang dianggap telah setara dengan sembilan wali.

Azzam mengawali diskusi malam itu dengan menyampaikan terlebih dahulu tentang lima metode dan karakter yang digunakan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di Indonesia. 

Pertama, politik, yakni dengan menikahi para keluarga kerajaan. Kedua, pendidikan, yakni dengan membangun padepokan (pesantren) pada sebidang tanah yang telah dihadiahkan. Ketiga, budaya, yakni dengan menggunakan media lagu-lagu dan alat-alat musik tradisional yang tidak dihilangkan secara drastis. Keempat, apresiasi terhadap budaya lokal. Kelima, tidak ada perubahan signifikan. Maksudnya, tidak ada budaya yang dirubah secara total dalam proses penyampaian ajaran Islam. 

“Misalnya saja Sunan Kalijaga, yang tetap mengenakan pakaian Jawa, wayang, dan menciptakan lagu-lagu Jawa dalam dakwahnya,” papar Azzam.

Berkaitan dengan rekonstruksi Gus Dur sebagai wali kesepuluh, maka berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Azzam, setidaknya terdapat tiga hal yang diduga sebagai pemicu, sekaligus pembenaran terhadap wacana tersebut.  

Pertama, Gus Dur telah dikenal sebagai pemimpin agama, presiden, akademisi, dan pemimpin NU yang krismatik. Kedua, Gus Dur dikenal sebagai orang yang nyleneh ‘aneh’ dan kerap melakukan sesuatu diluar kebiasaan (khariqul ‘adat). Misalnya seperti kemampuan Gus Dur yang dapat memprediksi masa depan. Ketiga, Gus Dur dikenal dengan ide-idenya yang populer dan monumental. Misalnya tentang konsep pribumisasi Islam. 

“Jadi Gus Dur tidak menggunakan istilah Arabisasi, bukan pula Jawanisasi, tapi Pribumisasi,” tandas sosok kelahiran Cilacap, Jawa Tengah tersebut.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah cukup hanya dengan itu sehingga Gus Dur dapat dikatakan sebagai wali kesepuluh?

Tentu tidak. Maka di samping menggunakan teori konstruk sosial, Azzam juga menggunakan teori karismanya Weber di dalam penelitiannya tersebut.

Berdasarkan teori karisma-nya Weber, setidaknya ada dua karisma yang dimiliki oleh Gus Dur. Pertama, Gus Dur memiliki nasab (keturunan) yang baik dan mulia, yakni putra dari KH Wahid Hasyim, sekaligus cucu dari KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU. Kedua, Gus Dur memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa.

Namun ketika hal itu ditanyakan kepada berbagai kalangan, jawabannya akan beragam. “Jika Gus Dur dikatakan sebagai wali, mayoritas mengatakan iya. Akan tetapi jika dikatakan sebagai wali kesepuluh, itu belum, atau masih dalam proses,” pungkas Azzam sembari mengakhiri presentasinya malam itu. 


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’