Daerah

Gus Melvien Lirboyo Ajak Santri Jadi Kebanggaan Kiai

Ahad, 4 Juli 2021 | 11:00 WIB

Gus Melvien Lirboyo Ajak Santri Jadi Kebanggaan Kiai

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri, KH Melvien Zainul Asyiqien (Foto: Pesantren An-Nawawi Berjan)

Purworejo, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri, KH Melvien Zainul Asyiqien (Gus Melvien) menyampaikan bahwa santri mesti percaya diri dan bangga menyandang statusnya sebagai seorang santri. Lebih-istimewa lagi jika santri itu yang dibanggakan oleh kiai. 

 

"Yang paling baik adalah ketika guru kita mengatakan, "Iitu lho, santriku. Itu lho muridku,'" ungkap Gus Melvien, dalam mauidlah hasanah Haflah Khataman Akhirus Sanah ke-42 Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Tahun 2021 M/1442 H, yang dilaksanakan secara terbatas di Komplek Pesantren setempat, Sabtu (3/7) malam.


Mengutip Imam Sya’rawi, Gus Melvien mengatakan, murid bukanlah orang yang membanggakan gurunya, tetapi murid adalah orang yang dibangakan gurunya.


"Bukan kok membanggakan almamater kita yang kita cari, tetapi yang kita cari adalah bagaimana kita ini bisa dibanggakan oleh para guru-guru kita," ungkap Gus Iing, sapaan akrab lainnya.

 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar santri bisa dibanggakan oleh kiai? Menjawab pertanyaannya sendiri, putra KH Imam Yahya Mahrus tersebut menggunakan sarung sebagai bahan analogi .  


Pertama, fleksibilitas sarung. Sarung itu selalu mengikuti ke mana arah angin pergi. Ketika angin berhembus ke arah timur, barat, barat, selatan atau utara, pasti sarung akan mengikuti ke mana arah angin berhembus. Bahwa seorang santri itu harus ikut kiai. Ketika seorang gurunya dawuh, santri harus siap. Selain itu, santri juga harus selalu mengikuti ke mana keinginan masyarakat sekitar.


"Inilah seorang santri, ke mana pun selalu mengawasi, ke mana pun selalu menyertai, mendampingi masyarakat di mana masyarakat membutuhkan seorang santri," jelasnya.


Maka dikatakan, orang Mukmin itu merukunkan dan mau dirukunkan. "Laysa minna man lam ya’lif walaa yu’laf, sabda Nabi, bukan satu golonganku jika tidak mau merukunkan dan dirukunkan," ujar Gus Iing. 


Kalau kita tidak rukun dengan tetangga sendiri dan masyarakat sekitar, lanjutnya, maka kita akan sulit untuk himmatur ri’aayah, mendampingi masyarakat yang membutuhkan sentuhan dan belaian dalam agama Islam.


Terkait hal ini, tutur Gus Iing, KH Mahrus Aly dalam berbagai kesempatan sering kali menyampaikan, Laysa minna man laa yahtam bi umuurin-naas, bukan termasuk golonganku orang yang tidak terlalu peduli terhadap (problematika) sekitarnya.


"Maka kita harus peka, kita harus respect terhadap sekitar kita," pesannya kepada para santri.


Kedua, manfaat sarung. Dikatakan, manfaat sarung tidak hanya untuk shalat, mengaji atau madrasah. Dalam tradisi santri, sarung bisa dijadikan bantal, handuk, selimut dan masih banyak lagi. Maka jika diminta untuk jadi apa saja, seorang santri tidak boleh mengatakan tidak, misalnya diminta menjadi imam di masjid, mengisi ceramah atau khotbah, mesti siap.


"Ketika masyarakat kita, ketika sekitar kita meminta, maka kita tidak boleh mengatakan tidak," kata pria yang sering kali terlihat dengan kopiah putih ini, penuh semangat. "Yang diminta itu kamu, iya, kamu," selorohnya sambil menunjukkan jari ke area santri putri. Tawa pun pecah, "Eaaa."

 

Ketiga, macam sarung. Ada banyak macam jenis sarung, mulai dari goyor, sutra, batik, songket dan sebagainya. Pun demikian dengan santri, ada berbagai ragam peran dan pengabdiannya. 

 

"Benar kita di pondok pesantren, tapi tidak pernah satu pun, di pondok pesantren mana pun, mengatakan, menahbiskan, bahwasannya jebolan pondok pesantren, alumni pondok pesantren, dia harus menjadi seorang kiai," ungkap Gus Iing.


Dikatakan, pondok pesantren bukan suatu sekolah jurusan perkiaian, bukan lembaga pendidikan kejuruan. Tetapi ketika lepas dari pesantren, santri-santri disilakan menjadi apa saja. Ada yang menjadi DPR, Polisi, TNI, Artis, Dokter, dan seterusnya.


"…Udhuluu min abwaabim mutafarriqah.., firman Allah SWT. Mari kita masuk dari berbagai macam pintu, tidak hanya fokus kita menyebarkan ajarah Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah hanya dalam satu pintu: dijadikan pesantren semua," terangnya, dengan mengunduh penggalan Al-Quran Surat Yusuf ayat 67.

 

Maka santri harus bisa masuk dari berbagai kalangan. Akan lebih membanggakan jika santri terdiaspora: ada pedagang santri, politisi santri, pengusaha santri, artis santri dan profesi lainnya. Pada intinya, peran santri kemudian tidak hanya terfokus pada satu pintu atau satu titik. Mau jadi apa pun, yang penting tetap menjadi seorang santri.

 

Keempat, asas manfaat. Dikatakan, sebaik-baik atau semahal-mahal sarung tidak akan bisa melebihi mahalnya maa fid-daahilis sarung, apa yang ada di dalam sarung. Ketika  menjadi seorang kiai, pengusaha, politikus, harus tetap memiliki jiwa santri: jiwa pesantren (ruhul ma’had) tidak pernah hilang dari diri kita.


"Sesukses apa pun kita, tapi kalau hati kita sudah hilang ruhul ma’had di dalam jiwa kita, maka kita tidak akan pernah ada harganya," ujar adik Gus Reza Ahmad Zahid ini, mengingatkan.

 
Mengutip Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki, Gus Iing mengatakan, orang yang kelepasan (Jawa: lacut) itu adalah orang yang telah meninggalkan para guru-gurunya.


Selain dzahir, cara agar tetap ada tautan antara santri dengan kiai, selalu ada rabithah (hubungan) dengan para guru-guru kita, adalah dengan bertawasul dan mendoakan.

 

"Semakin kuat hubungan kita dengan guru-guru kita maka semakin barakah ilmu kita. Semakin kuat hubungan kita dengan guru-guru kita, semakin bermanfaat ilmu yang kita dapat, entah banyak ataupun sedikit," tuturnya.


Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Kendi Setiawan